Ahmad bin Idris
Tuan Shaykh Sayyid Ahmad Bin Idris – (1757-1835)
Tuan Shaykh Sayyid Ahmad bin Idris dilahirkan
di Maisur iaitu sebuah perkampungan di dalam daerah ‘Arayish, yang
terletak di kota Fez (Morocco) pada bulan Rejab tahun 1163 H (1749-50
Masihi). Namun ada riwayat pula yang menyebut bahawa beliau dilahirkan
pada tahun 1172H (1757-58 Masihi).[1]
Nama penuh beliau adalah Tuan Shaykh Sayyid Ahmad ibn Idris ibn Muhammad ibn ‘Ali [2] ibn
Ahmad ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Ibrahim ibn Umar ibn Ahmad ibn
‘Abdul Jabbar ibn Muhammad ibn Yamluh ibn Masyish ibn Abu Bakar ibn ‘Ali
ibn Hurmah ibn ‘Isa ibn Salam ibn Marwan ibn Haidarah ibn Muhammad ibn
Idris al-Asghar ibn Idris [3] al-Akbar
ibn ‘Abdullah al-Kamil ibn al-Hassan al-Muthanna ibn Saiyyidina Hassan
al-Sibt ibn Saiyyidina ‘Ali dan Saiyyidatina Fatimah al-Zahra’ binti
Habibuna Saiyyidina Muhammad Rasulullah . Beliau merupakan ahli keluarga Syarif Hasani Idrisi [4] yang masyhur di Morocco kerana keturunan Imam Idris ibn ‘Abdullah al-Mahd [5] pernah mempunyai kerajaan dinasti di Fez (788-974).
Pada pandangan ahli sufi, Tuan Shaykh Sayyid Ahmad bin Idris dianggap sebagai seorang wali yang telah mencapai maqam Qutub iaitu martabat yang tertinggi dalam pimpinan kaum sufi dan juga dikatakan meraih maqam Sultan Salatin al-Awliya [6]. Selain daripada itu, beliau juga terkenal sebagai seorang ulama pembaharu (mujadid). Beliau telah banyak menggembara dan berdakwah di jalan Allah serta menyebarkan ajaran Tariqahnya ke merata tempat hingga ke Makkah, Madinah, Mesir, Sudan, Yaman, etc.
Beliau
telah wafat pada malam Sabtu di antara waktu Maghrib dan Isya’ pada
tanggal 21 Rejab. Anak muridnya Saiyyid al-Soleh Ahmad Uthman
al-‘Uqaili [7] dilantik
untuk memandikannya dan jenazah beliau telah disembahyangkan oleh
al-‘Allamah al-Wali Saiyyid Yahya ibn Muhsin al-Ni’ami al-Hasani [8] . Beliau dikebumikan pada pagi itu, 21 Rejab 1837 Masihi (1253 H)[9] di Sabya. Kota Sabya yang pada masa itu berada di Tanah Yaman, namun sekarang adalah di bawah kuasa Kerajaan Saudi.
__________________________________
[1] Kedua-dua tarikh telah disebut oleh Tuan Shaykh Salih al-Ja’afari . A’tar azhar aghsan hazirat al-taqdis fi karamat al-alim … al-sayyid Ahmad b Idris (Cairo, 1394/1974), ms 55 dan 34. Namun, tarikh 1163H dimenangkan oleh keturunan Tuan Shaykh Sayyid Ahmad bin Idris di Omdurman (Sudan); interview, Shaykh Idris b Muhammad b ‘Abd al-‘Aal / oleh Ali Salih Karrar, May 1977.
[2] Nasab
hingga ke ‘Ali ibn Ahmad termaktub oleh Hamdan Hassan, Tarekat
Ahmadiyah Di Malaysia Suatu Analisis Secara Ilmiah, (1990) cetakan
Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, ms 24
[3] Nasab yang berkait dari ‘Ali ibn Ahmad ke Idris al-Akbar, sila rujuk Tuan Shaykh Muhammad Fuad bin Kamaludin al-Maliki, Sayyid Ahmad ibn Idris al-Hasani, (2007) terbitan
SOFA Production, ms 2. Selanjutnya nasab daripada Imam Idris ke Hasan
al-Sibt termaktub oleh Tuan Shaykh Ahmad bin Muhammad Sa’id , 1354H/1935M. Majmuk, al-Ahmadiyah
Press, Singapura, (Jawi), ms 16. Juga lihat Pauzi Haji Awang, Tariqah
Ahmadiyyah History and Development, 2001, cetakan Persatuan Ulama
Malaysia, dalam bahasa Inggeris ms 39.
[4] J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (Oxford At The Clarendon Press, 1971), dalam bahasa Inggeris ms 114
[5] Khairudin al-Zurkaly, (Beirut :1969) al-‘Alam, Jilid 1, Cetakan ke-III, hlm 90
[6] Ahmad bin Idris, (tanpa tarikh), al-Ahzab al-Irfaniyah al-Awrad. ms 1
[7] Muhammad al Yamani, Risalah al Aurad al Idrisiyyah, ms 78-79
[8] Ibid
[9] The Encyclopedia of Islam, vol I, (1960) ms 177
A. Sejarah Thariqat Al-Idrisiyyah
Thariqat
Al-Idrisiyyah adalah sebuah Thariqat yang muncul dan berpusat di
Propinsi Asir, Arab Saudi pada akhir dasawarsa kedua abad ke‑19 M.
didirikan oleh Syarif Ahmad bin Idris 'Ali Al-Mashishi Al-Yamlakhi
Al-Hasmi. Idris, yang kepadanya dinisbatkan nama Thariqat ini adalah nama ayah dari pendirinya.
Thariqat
ini juga dinamakan Thariqat Muhammadiyah yang dinisbatkan kepada Nabi
Muhammad Saw atau Thariqat Ahmadiyah, dinisbatkan kepada Ahmad, nama
lain dari Nabi Muhammad Saw, bukan kepada Ahmad bin Idris.
Penamaan
yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah untuk menunjukkan
bahwa Thariqat ini ingin menjalankan kehidupan spiritual sebagaimana
yang dijalankan Nabi Saw, atau mencapai pengalaman dengan ruh Nabi
melalui dzikir.
Ahmad
bin Idris lahir di Maisni, dekat kota Fez, Marokko (maghribi) tahun
1760 (1173 H) dan wafat di Sabya, yang terletak dalam wilayah Propinsi
Asir (Saudi Arabia) pada 1837 (1253 H). Ia adalah keluarga Syarif
Al-Hasan yang turunannya berasal dari Idris bin Abdullah bin Al-Hasan
bin Al-Hasan bin 'Ali bin Thalib, cicit Nabi, yang mendirikan dinasty
Idrisiyyah di Maroko dan berkuasa antara tahun 783 - 985 M (172‑375 H). Ia juga turunan Yamlah bin Mashish dan Mashish bin Abu Bakar, Keduanya wali‑wali yang termasyur dari Maroko.
Setelah
mempelajari Al-Quran, Hadits, ilmu Tafsir, Aqidah dan Fikh (Malikiyah),
pada masa mudanya, ia mulai mempelajari tasawuf sampai mendapat ijazah
untuk mengajar ilmunya dari seorang sufi pimpinan Thariqat Khidriyah,
yakni Sayid Abu Al-Mawahib Abdul Wahhab At-Tazi. Gurunya yang lain dalam
bidang tasawuf adalah Abdul Qosim Al-Wazir (Thariqat Sadziliyah), Hasan
Al-Qina’i (Thariqat Khalwatiyah).
Pada
tahun 1799 (1213 H) ia menunaikan ibadah haji kemudian menetap di Kairo
untuk memperdalam ilmu agamanya. Sejak itu ia tak pernah kembali lagi
ke negeri asalnya (Maroko). Selanjutnya ia berdomisili di desa Zainjid,
kawasan Qina, Mesir. Pada tahun 1818 (1233 H) ia kembali lagi ke Mekkah
dan bermukim di sana dalam waktu yang lama.
Di
sini nampaknya ia mendalami dan mengajarkan bemacam Thariqat lainnya.
Sebab ketika nanti Muhammad bin Ali As-Sanusi belajar kepadanya (Ahmad
bin Idris) mengajarinya selain Thariqat Khidiriyah juga Thariqat lain
seperti Nasiriyah, Naqsyabandiyah, Uwaysiyah, Suhrawardiyah,
Shadziliyah, Hatimiyazamqiyah dan Qodariyah, sehingga As-Sanusi
menganggapnya "Qutb".
Yusuf bin Ismail Al-Nabhani pengarang kitab Jami' Karamat Al-Auliya, menggambarkan Ahmad bin Idris sebagai orang yang berhasil menghimpun dan menguasai ilmu zahir (syari'ah) dan ilmu batin (tasawuf); memiliki kemasyhuran dalam ilmu Al-Quran dan Hadits, suatu ilmu yang diperoleh melalui Kasyf.
Dengan bahan keruhanian, kecerdasan dan kepribadiannya yang menonjol ia
berhasil menarik banyak pengikut di Mekkah, sehingga berdirilah
Thariqat Al-Idrisiyyah.
Dari
murid‑muridnya cukup banyak menjadi ulama yang terkenal, baik dalam
bidang ilmu lahir (fiqih) maupun ilmu batin (tasawuf), antara lain:
- Abdur‑Rahman bin Sulaiman Al-Ahdal;
- Muhammad Abid As-Sinsi, Syekh di Madinah;
- Muhammad Al-Majzub As-Sawabin, ulama terkemuka di Sudan;
- Muhammad Al-Madani (ulama terkemuka di Madinah).
Pendiri Thariqat
- Muhammad bin Ali As-Sanusi, pendiri Thariqat Sanusiyah;
- Muhammad Utsman Al-Mirghani, pendiri Thariqat, Mirghaniyah;
Ibn
Idris adalah seorang guru, juru dakwah yang produktif menuliskan
pemikirannya. Karya aslinya meliputi bidang Tafsir (9 buah), bidang
Hadis (5 buah) dan bidang Tasawuf (9 buah). Selain
ltu, terdapat juga kumpulan hizb, wirid, catatan kuliah,
khutbah‑khutbah, surat‑surat dan biografi beliau. yang dituliskan oleh
para muridnya. Karya asli Ibn Idris dalam bidang Tasawuf antara lain:
1. Kimiya Al-Yaqin fi Mushawwaq Al-Muttaqin;
2. Kunuz Al-Jawahir An‑Nuraniyya fi Qawa'id At-Tariqa As-Sadziliyya;
3. Lawami' Al-Buruq An‑Nuraniyya min Katimat Syaikh At-Tariqa Al-Muhammadiyyah;
4. Nubdha fi Sifat Dukhul Al-Khalwat;
5. Risalat Al-Asas;
6. Risalat fi Az‑Dzikr;
7. Sharh Husul Al-Haqiqa bi Nazm Usul At-Tariqa;
8. Sharh Qasidat Al-lmam Al-Junaid;
Kunuz Al-Jawahir berisi tuntutan praktis dalam menguasai cara‑cara latihan spiritual (riyadhah) yang terdiri dari 6 bagian:
1. Menjelaskan silsilah keguruan Al-Idrisiyyah;
2. Tata cara talqin (inisiasi) calon murid laki‑laki dan perempuan;
3. Tujuh tingkatan jiwa manusia, dan hubungan antara murid, mursyid dan Nabi. Tujuh jiwa manusia itu. antara lain adalah:
a. Nafs al‑ammarah;
b. Nafs al‑lawwamah;
c. Nafs al‑mulhamah;
d. Nafs al‑mutmainnah;
e. Nafs ar‑radiah;
f. Nafs al‑mardhiah;
g. Nafs al‑kamilah;
4. Petunjuk‑petunjuk lengkap untuk melakukan dzikir berjama'ah;
5. Tata cara bergaul dengan sesama ikhwan;
6. Bagian
terakhir menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad Saw menemuinya bersama
Nabi Khidir As dan mengajarinya berbagai do’a yang menjadi keistimewaan
Thariqat Al-Idrisiyyah. Ia berkata:
Saya
berjumpa secara ruhani dengan Nabi Saw besama Khidir yang menemuinya.
Nabi menyuruh Khidir agar mengajariku dzikir Thariqat Syaziliyah, maka
Khidir mengajarkannya kepadaku di hadapan Nabi Saw. Setelah itu Nabi Saw
menyuruh Khidir supaya, mengajariku apa yang mencakup semua dzikir
lainnya, shalawat dan istighfar, yang paling mulia dan paling banyak
pahalanya. Oleh karena Khidir menanyakan apa yang mesti diajarkannya,
maka Nabi Saw sendiri yang langsung mengajarkannya kepadaku. Diantara yang utama adalah kalimat 'fi kulli lamhatin wa‑nafsin ’adada ma wasi’ahu ilmu‑llah".Setelah lafazh "la ilaha illallah Muhammadur Rasullullah". dalam setiap dzikir.
Setelah
mengadakan penelitian yang mendalam terhadap pemikiran‑pemikiran Ahmad
bin Idris, Rex. S. O Fahey, dari Northwestern Univesity, London
menyimpulkan pokok‑pokok pikiran tasawuf Ahmad bin Idris didasarkan pada
pemikiran para sufi sebelum yang dianggap ortodoks yaitu:
- Hasan Al-Basri (w. 728);
- Abul Qosim Al-Qusyairi (w. 1073);
- Abul Hasan As-Sadziliy (w. 1258);
B. Thariqat Al-Idrisiyyah sebagai Neo‑Surisme
Berdasarkan
latar belakang pendidikan dan kemampuan intelektualnya, Ahmad bin Idris
bukan sekedar seorang sufi dengan segala kemampuan mistis dan
spiritulanya ' melainkan juga seorang ahli ilmu lahir (Eksoterisme) yang
menguasai ilmu‑ilmu Al-Quran, Tafsir, Hadits, Aqidah dan Fiqih. Sebagai
seorang ahli fikih dari berbagai mazhab ia memiliki semangat
pembaharuan(Tajdid) dan pemurnian (Islah) dan menyerukan ijtihad. Dia menolak Ijma' zaman
pertengahan dan penalaran dengan analogi (qiyas). Dalam hal ini ia
mengambil pendapat Hambali. Semangat pembaharuannya juga ditujukan ke
arahIslah terhadap Thariqat. Ia berupaya menyelaraskan kehidupan
spiritual umat agar semata berdasarkan tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi
Saw., menolak ide penyatuan mistis manusia dengan Tuhan (mystiscal union with the divine), dan menggantinya dengan penyatuan dengan ruh Nabi SAW. (mystiscal union with Prophet), menolak zuhud yang berlebihan dan uzlah, lantaran yang terakhir ini lebih menghasilkan efek individual ketimbang sosial.
Ide
pembaharuannya atas tradisi mistis dari Thariqat yang berkembang sejak
abad pertengahan ini merupakan suatu revolosi spiritual dalam sejarah
Islam. Apabila pemikiran pembaharu dalam Islam umumnya cenderung
memberantas Thariqat/tasawuf, maka Ahmad bin Idris justru memperbaikinya
dari dalam. Apa yang dilakukan oleh Ahmad bin Idris pada penghujung
abad 18 sampai awal abad 19 inilah yang menempatkannya sebagai tokoh
kunci dalam gerakan yang lalu oleh FazIur Rahman dikenalkan dengan
istilah Neo‑Sufisme.
Istilah
neo‑sufisme memang masih diperdebatkan, namun pada prinsipnya
disepakati. la mengacu pada suatu "kebangkitan kembali dari thariqat”
(sufi revival) yang mengalami masa pasang surutnya besamaan dengan masa
"pambaharuan dalam Islam' sebelum periode modern, atau sejak sekitar
abad 8 H/14 M, yang dalam hal ini pemikiran‑pemikiran Ibnu Taimiyah
sangat berpengaruh.
'Neo‑Sufisme'
atau 'Sufisme Baru' atau 'Tasawuf Modern' (istilah Hamka) adalah
semacam spiritualitas yang merupakan kelanjutan dari ajaran Islam itu
sendiri sebagaimana tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah serta tetap
dalam pengawasan kedua sumber utama ajaran Islam itu, ditambah dengan
ketentuan untuk menjaga keperdulian dan keterlibatan sosial pengikutnya.
Jadi ia merupakan jembatan yang menghubungkan antara tuntutan untuk
memenuhi kerinduan primordial manusia dan kelanggengan damba mistiknya
di satu pihak, dan di pihak lainnya sekaligus untuk memenuhi tuntutan
mengaktualkan keberagamannya dalam bentuk aktivisme sosial agar agama
'membumi' atau dengan kata lain, untuk menyeimbangkan porsi perwujudan
ajaran penghambaan (ibadah) dan kekhalifahan (khalifah) manusia di atas
bumi ini. Tak heran, bila berkenaan dengan prinsip keseimbangan
Neo‑Sufisme ini Nurcholish Madjid mengaitkannya dengan Firman Allah
dalam surat Ar‑Rahman[55]: 7‑8 di mana Allah telah menetapkanmizan, tawazun sebagai hukum (taqdir) yang menguasai seluruh alam ini. Menurutriya pelanggaran prinsip ekuilibrium (mizan, tawazun)
adalah suatu dosa kosmis, karena melanggar hukum yang menguasai alam
jagat raya. Dan kalau manusia diakui sebagai 'mikrokosmos' maka, tanpa
terkecuali, ia pun harus memelihara prinsip ekulibrium dalam dirinya
sendiri, termasuk dalam kehidupan spiritualnya.
Salah
satu tentang batasan Neo‑Sufisme disampaikan oleh Carlo Nallino.
Menurutnya, neo‑sufisme adalah suatu jenis Thariqat yang muncul antara
abad 18‑19-an yang mengambil alih ajaran‑ajaran universal Tasawuf dan
melucuti konsep‑konsep tradisional yang telah menjadi watak Thariqat
sejak abad pertengahan.
Dari
definisi di atas dan dan keterangan‑keterangan sebelumnya jelas ada
yang dipertahankan oleh Neo‑Sufisme dari Tasawuf Klasik dan ada pula
yang diganti, sehingga, selain merupakan kritik, Neo‑Sufisme merupakan
kesinambungan dari spiritualisme Islam pendahulunya, atau dapat juga
kita katakan, ‘direkonstruksi’.
Menurut Hassan Hanafi, rekonstruksi tasawuf itu meliputi ketiga aspeknya, yaitu moral, etika‑psikologis dan metafisik.
Nilai
universal tasawuf klasik yang diambil alih antara lain moralitas yang
luhur, kontrol diri yang penuh disiplin dan sistem kekerabatan (ikhwan) yang
hangat dan tulus, juga teknik dzikir, atau muraqabah, konsentrasi
spiritual. Sedangkan yang dibuang, ajaran uzlah diganti dengan
aktifisme, kesalehan individual diganti dengan spiritulisme sosial,
konsep‑konsep persatuan mistis dengan Tuhan seperti wahdatul wujud, ittihad dan hulul diganti dengan penyatuan mistis dengan ruh Nabi Muhammad Saw.
Ahmad
bin Idris hidup pada tahun 1760 – 1837 M/1 173 – 1253 H. Pada abad itu
ciri utama jaringan ulama masa itu adalah tercapainya puncak
saling‑pendekatan(reapproachement) antara para ahli syari'ah (fuqaha) dan ahli haqiqah.
Konflik yang telah berlangsung lama antara para ulama zawahir (eksoterisme yang lebih menekankan aspek transendensi (tanazzuhyat) Tuhan, dan ulama tasawuf (esoterisme) yang lebih merasakan immanensi(tanazzulyat)‑Nya sudah
jauh berkurang. Sikap saling pendekatan inilah yang menimbulkan
kebangkitan kembali revivalisasi Tasawuf dalam bentuk baru, yang lebih
menekankan makna dan fungsi syari'ah dalam kehidupan spiritual.
Sebagai
ulama Tasawuf yang terpandang, juga dikenal sebagai ahli ilmu zawahir
(eksoterisme) Ahmad bin Idris teguh menjaga keseimbangan aspek lahir dan
batin dalam Thariqatnya. Acuannya bertumpu pada orientasi Al‑Quran dan
Sunnah Rasul. Thariqat Al-Idrisiyyah tidak terlalu mementingkan aspek
batin sebagaimana Thariqat‑Thariqat klasik. Akan tetapi juga tidak hanya
memperhatikan aspek lahir sampai menelang aspek batin seperti kelompok
Wahabiyah.
Sikap dan pendapatnya itu tergambar dari rekaman debat, terbuka (munazarah/publik debate) antara Ahmad bin Idris dan ulama Wahabi serta para fuqaha dari propinsi Asir sebagai berikut:
Pendapat‑pendapat kami mengenai firman Tuhan sesungguhnya sudah diketahui. Kami menafsirkannash‑nash (nushush) berdasarkan makna lahirnya dalam bahasa Arab. Kami berpendapat bahwa perlu secara mutlak untuk memperhatikan makna lahir tersebut. Seseorang
tak mungkin sampai kepada makna batin (esoterik) sebalum ia memahami
makna eksoteriknya. Barang siapa yang mengaku mengerti makna‑makna
rahasia Al-Quran tanpa penafsiran eksoteriknya adalah bagai orang yang
mengaku telah sampai ke ruang tengah rumah tanpa melewati pintu
masuknya. Kami bersyukur kapada Tuhan, lantaran bisa masuk golongan yang
menguasai penafsiran lahir (eksoterik). Tapi sebaliknya kami tidak
menyalahkan orang yang berpendapat bahwa kandungan hakiki dari ayat‑ayat
Al-Quran adalah yang tersembunyi, yang rahasianya diilhamkan kepada
pengikut-pengikut Thariqat dengan cara memperdalam pemahaman atas makna
eksoterik ayat‑ayat tadi. Untuk mencapai makna hakiki tersebut diperlukan pengetahuan yang sempurna dan keimanan yang tulus.
C. Thariqat Al-Idrisiyyah dan Sanusiah
Setelah
Syarif Ahmad bin Idris wafat, semangat pembaharuan dan kebangkitan
kembali tasawuf di warisi oleh para muridnya. Di antara mereka ada tiga
orang yang berasal dari latar belakang pendidikan dan sosial keagamaan
berlainan, karenanya memiliki kepribadian berbeda satu sama lainnya,
namun menjadi sangat terkenal sebagai pewaris Thariqat Al-Idrisiyyah.
Mereka adalah:
Pertama, Ibrahim Ar-Rasyid(1831‑1874/1228‑1291) berasal dari Sudan. Ia
termasuk yang termuda jika dibandingkan dengan Al-Mirghani dan
As-Sanusi. Sejak kecil sudah tergabung menjadi murid Al-Idrisiyyah dan
mempelajari Tasawuf hanya dari Ahmad bin Idris. Setelah tahun 1873 Ahmad
bin Idris wafat, Sanusi pergi ke Mekkah, Ibrahim Ar-Rasyid yang ketika
itu berusia 24 tahun diangkat sebagai khalifah Al-Idrisiyyah untuk
daerah Sabya, sedangkan secara umum dia sendiri mengakui kepemimpinan
Sanusi di Qubais. Kemudian mendirikan Thariqat Rasyidiyah dengan membuka
zawiyah‑zawiyahnya di Luxor (Mesir), Dongola (Sudan) dan Libya.
Langkahnya diteruskan oleh muridnya, Muhammad Al-Farisi dan Musa Agha
Qosim yang menyebarkan Thariqat Al-Idrisiyyah di Cairo dan Iskandariyah.
Karya‑karya tulisnya tidaklah banyak, namun sangat penting dalam
menginformasikan warisan tradisi Al-ldrisiyah, yaitu:
- Risalat lantsiq Al-Ara li‑man arada huda khayr al‑wara' fi ta’alim at‑thariq Al-Ahmadi‑Al-Idrisi;
- Iqd ad‑duraran‑Nafis fi bad Karamah As-Sayyid Ahmad ibn Idris;
- Nubha min ba 'd Karamah Muhammad Al-Majzub.
Kedua, Muhammad 'Usman Al-Mirghani(1793‑1852
M/1208‑1268 H) barasal dari Mekkah yang mendirikan Thariqat Mirghaniyah
yang berdiri sendiri. Selain bersumberkan warisan Al-Idrisiyyah,
Thariqat ini juga memadukan ajaran‑ajarannya dengan unsur‑unsur dari
Thariqat‑Thariqat Naqsyabandiyah, Qodiriyah, Sadziliyah, Junaidiyah, dan
Thariqat dari kakeknya (Mirghaniyah juga), sehingga menurut
Al-Mirghani, pargi muridnya dapat sekaligus memiliki rantai‑rantai
dengan silsilah Thariqat tersebut.
Disamping
beberapa zawiyah, Al-Marghani membangun sekolah khusus wanita yang
pertama di Sudan. Dan sebelum wafat di Thaif tahun 1851 (1268 H), ia
sudah mengirimkan putra‑putranya ke Arabia Selatan, Mesir, Sudan dan
India. Dia juga mewariskan sejumlah karangan, yang penting adalah dua
jilid kitab, Taj At-Tafasir li‑Kalam Al-Malik Al-Kabir. Kitab ini
berisi panafsiran‑penafsiran ayat secara ringkas dan jelas, disertai
dalil‑dalil hadits dan khalis dan kisah‑kisah Israiliyyat. Karangan
lainnya berupa risalahMaulid yang berisi wirid‑wirid untuk mencapai pertemuan dengan ruh Nabi Saw.
Ketiga, Muhammad bin 'Ali As-Sanusi Al-Khattabi Al-Hasani Al-Idrisi (1787-1859 M/1202‑1275 H). la lebih dikenal dengan nama, Sanusi Al-Kabir atau Grand Sanusi. Dia
adalah pemimpin Islam yang paling berpengaruh di Afrika Utara pada abad
19. Kegiatan‑kegiatan organisasinya yang dikembangkan telah banyak
mengubah suku-suku nomade dari Gurun Sahara dan padang pasir menuju
masyarakat suatu negara yang sekarang disebut Libya. Sebagai
pewaris semangat pembaruan dan penghidupan kembali Thariqat dari
Ibrahim bin Idris, jika dibandingkan dengan lbrahim Ar‑Rasyid dan
Muhammad 'Utsman Al-Mirghani, bahkan juga dibandingkan dengan
tokoh‑tokoh sufi lainnya, Sanusi Al-Kabir dan Thariqatnya lebih banyak
dipelajari, baik oleh kalangan Sanusiah sendiri, kalangan Arab, maupun
cendekiawan Eropa. Hal ini tidak lain karena sifat gerakan pembaruannya
yang puritan, kecenderungan‑kecenderungan wahabinya, dan keterkaitannya
secara langsung dalam melawan politik ekspansionis negara‑negara
kolonial Eropa.
Karena
itu pula, Fazlur Rahman, orang pertama yang memperkenalkan istilah
Neo‑sufisme, mengemukakan, Thariqat Sanusiah ini sebagai wakil par excellene dari Neo‑Sufisme tersebut. Namun
demikian para ahli banyak berbeda tentang tahun kelahirannya, tahun
wafat ayahnya, pendidikan awalnya serta tahun perjalanannya.
Sanusi
Al-Kabir lahir di Mustaghnim (Al-Jazair) dari keluarga bangsawan yang
saleh dan mencintai ilmu pengetahuan. Ayahnya wafat pada waktu itu
berusia dua tahun, sehingga ia diasuh oleh bibinya, Sayyidah Fatimah,
seorang guru terbaik di lingkungannya, yang meletakkan dasar‑dasar
berpikir ilmiah serta pendidikan keagamaan baginya, sehingga pada usia
sangat belia ia sudah menghafal Al-Quran.
Ketika
berusia 19 tahun ia pergi ke sebuah pesantren di Mazuma untuk belajar
kepada para ulama ahli Tafsir, Hadits dan Fiqih terkemuka seperti Abu
Ra's An-Nasiri dan Muhammad bin Ali Al-Mazuni. Usia 21 tahun ia
melanjutkan belajar di universitas Qarawiyyin (Fez) yang merupakan salah
satu pusat kajian Islam dan Bahasa Arab di Afrika Utara. Di sana, di
samping mendalami ilmu‑ilmu agama ia juga mempelaJari ilmu‑ilmu umum
seperti Aljabar, Fisika, Astronomi, Geometri dan Geologi di bawah asuhan
ulama ortodok dan para sarjana terkenal lainnya masa itu. Di antaranya
Ibnu Kiran, seorang ahli Hadits yang sebelumnya jadi guru Ahmad bin
Idris.
Ketika di Fez ini, Sanusi mempelajari ilmu Tasawuf di Zawiyah Ain Mahdi dari
Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani pengasas Thariqat Tijaniyah yang
sangat berjasa mengembangkan Islam di Afrika Barat. Selain dari
At-Tijani ia juga mempelajari Thariqat Sadziliyah, Nasiriyah dan
Darqawiyah. Setelah tujuh tahun di Fez, Sanusi pergi menunaikan ibadah
Haji dan melanjutkan belajar kepada ulama Hijaz, mubaligh‑mubaligh
wahabi serta mempelajari situasi global kaum Muslimin melalui jemaah
haji yang datang dari berbagai penjuru.
Pada
tahun 1823 Sanusi Al-Kabir pergi ke Mesir dengan maksud untuk
melanjutkan Studinya di Al-Azhar untuk beberapa lama. Akan tetapi
kehadirannya di sana ternyata mengundang sikap permusuhan dari ulama
Al‑Azhar yang merasa pengaruh mereka terancam hilang oleh ide‑ide
inovatif dan reformatifnya. Para ulama yang mempertahankan status quonya
bekerjasama dengan Muhammad 'Ali, penguasa Usmani di Kairo lalu
mengeluarkan fatwa yang mencap As-Sanusi sebagai penyebar bid'ah,
sehingga dengan perasaan muak ia meninggalkan Mesir lebih cepat dari
rencana semula.
As‑Sanusi
kemudian kembali ke Hijaz. Pada masa inilah ia bertemu dengan Syarif
Ahmad bin Idris Al-Fasi, Khalifah ke‑4 Thariqat Khidiriyah yang
dijadikan guru besarnya, baik dalam bidang ilmu eksoterik maupun
isoterik. Ilmu eksoterik yang dipelajari As-Sanusi adalah Tafsir, Fikih,
Muqarabah, Hadis (Kutubu‑Sittah, Muwatha Malik Musanad ibn Hanbal) dan Risalah Syafi'i
Sedangkan dalam bidang Tasawuf, ia menerima dari Ahmad bin ldris ijazab
Thariqat‑Thariqat Khidiriyah, Qodiriyah, Syaziliyah, Naqsyabandiyah,
Suhrawardiyah, Uwaysiya, Hatimiyah, dan Nasiriyah.
Hubungan
antara Sanusi dan Ahmad bin Idris sangat akrab. Sanusi adalah murid
yang paling setia dan berbakti. la mendampingi Ahmad bin Idris yang
melarikan diri ke Zahid lantaran permusuhan ulama‑ulama Hijaz sampai
gurunya wafat di Sabya. Setelah itu barulah As-Sanusi mendirikan
Thariqatnya sendiri dengan membangun Zawiyah Jabal Abu Qubais. Akan
tetapi hubungan antara keduanya tidak semata hubungan intelektual,
melainkan juga geneologis. Mereka sama‑sama berasal dari keturunan
Idris, cucu Nabi Saw yang mendirikan Dinasti Idrisiyah di Maroko
(789‑985 M/172‑375 H). Di antara garis turunannya terdapat Abd Salam Al-Mashish bin Abu Bakar dan Yamlakh Mashish yang menjadi dua orang wali terkemuka di Maroko. Jadi mereka sama berasal dari lingkungan syarif dan wali (saintly‑aristocratic) Afrika Utara.
Ahmad
bin Idris adalah guru besar yang sangat berpengaruh bagi ajaran-ajaran
Sanusiah. Sebagai pembaharu dan Sufi keduanya sama‑sama menekankan
perlunya ijtihad dan menolak untuk berpegang hanya pada salah satu
mazhab. Menurut mereka, tak ada kewajiban kecuali apa yang telah
diwajibkan Allah dan Rasul, dan tak seorangpun dari pendiri mazhab itu
yang mengajarkan demikian, juga kerena hal tersebut akan memecah belah
kaum muslimin. Dalam
bidang spiritual, dapat dikatakan bahwa ajaran Thariqat Sanusiah
sepenuhnya berasal dari Ahmad bin Idris dan tradisi salaf. Kendati
demikian ijazah atas beberapa Thariqat, As-Sanusi menggunakan silsilah
Thariqat Khidiriyah, yang paling pendek menuju Rasulullah Saw. Untuk
Thariqatnya, yakni, dari Ahmad bin Idris, dari Abd Wahhab At-Tazi dari
Abd Aziz Ad‑Dabbagh, dari Khidir As. dari Muhammad Saw.
Pada
tahun 1838 Sanusi mendirikan Zawiyah pertamanya di Jabal Abu Qubais
(Mekkah). Kepribadian dan ajarannya segera menarik perhatian banyak
orang. Zawiyahnya menjadi kiblat bagi pecinta ilmu yang berdatangan dari
berbagai penjuru dunia. Lingkaran studinya(halaqah darusih) yang
diatur dengan baik selalu dipenuhi kaum terpelajar. Beberapa zawiyahnya
yang lain menyusul berdiri di kawasan Hijaz ini, yakni di Thaif,
Jeddah, Badar, Madinah dan Yanbu.
Namun
keadaan demikian tak dapat berlangsung lama. Tantangan demi tantangan
datang dari para ulama Hijaz yang merasa iri, terutama dari kelompok
Al-Mirghani yang ajaran‑ajaran Thariqatnya cenderung kembali ke arah
semangat mistikisme dan ekstasikisme Thariqat klasik, sehingga bersama
lebih dari 70 pengikut setianya, Sanusi terpaksa pindah ke Cyrenaica
(Libya). Tahun 1843 ia mendirikan zawiyah putihnya (zawiyah Al-Baidha),
di atas bukit (Jabal) Akhdar, dekat Tripoli yang menjadi markas kegiatan
Thariqat Sanusiyah, Di sini pula anaknya lahir.
Thariqat Sanusiah merupakan perbaikan (islah) ummat baik dalam kehidupan beragama maupun ekonomi dan kemasyarakatan. Dalam
prakteknya, gerakan ini menggalakkan bentuk‑bentuk kerja sama,
membangkitkan solidaritas dan persaudaraan antar berbagai suku nomaden
yang sebelumnya saling berperang. Pertemuan‑pertemuan
di zawiyanya, dalam batas‑batas tertentu dimanfaatkan untuk berdzikir
dan berdoa. Selain itu terutama diarahkan kepada pekerjaan‑pekerjaan
sosial seperti memberi fakir miskin, memuliakan tamu serta pembinaan
kasih sayang dan kesucian. Zawiyah
bagi Sanusi tidak sekedar tempat untuk memberi bimbingan amal dan ilmu
keagamaan kepada anggotanya, melainkan juga tempat untuk latihan
keterampilan menunggang kuda, memanah, bertani dan berdagang. Ia menyeru
umat agar mengamalkan Al-Quran dan Sunnah dengan sungguh‑sungguh, serta
menjauhi bid'ah. la menunjukkan kesederhanaan dan kemudahan ajaran
agama, antara lain dengan memanfaatkan kekayaan berbagai mazhab yang
berkembang dalam Islam.
Agar
aman dari permusuhan penguasa Turki Usmani di Tripoli dan agar lebih
dekat dengan suku‑suku Badui di pedalaman padang pasir Libya, Chad dan
bagian utara wilayah Fezzan, beberapa tahun kemudian (1856) Sanusi
memindahkan zawiyah baru di Jaghbub. Ketika ia wafat di sana tahun 1859,
organisasinya telah tersebar di bagian terbesar Afrika Utara.
Sepanjang
hidupnya As-Sanusi mewariskan kekayaan intelektuainya dalam berbagai
disiplin keilmuan. Yang dapat diketahjiui sekitar 50 buah. Sebagian masih berupa naskah, sebagian baru diketahui judulnya saja dan 10 buku sudah diterbitkan.
Sebagian
besar karyanya berkenaan dengan ilmu‑ilmu dzikir (eksoterik) seperti
Hadits, Sejarah dan Fiqih. Sekitar empat sampai lima karya dalam bidang
ini, baik secara langsung maupun tak langsung berisi seruan untuk
melakukan introspeksi ulang atas fiqih dan dasar‑dasarnya (ushul fiqh) melalui ijtihad.
Sejak
paruh pertama abad 20 ini naskah‑naskah itu sudah diterbitkan oleh
cucu‑cucunya, terutama Ahmad Syarif As-Sanusi yang menjadi khalifah
Thariqat Sanusiah setelah Al-Mahdi As-Sanusi wafat. Buku‑buku. yang
diterbitkan tersebut secara bervariasi terdiri dari antara 19 ‑ 200‑an
halaman. Kemudian pada tahun 1968, atas prakarsa Muhammad Idris
As-Sanusi, yang menjadi raja Libya tahun 1951‑1969, delapan di antara
buku tersebut dicetak ulang dan dihimpun menjadi satu buku dengan judul Al-Majmu’at Al-Mukhtarah (koleksi pilihan) di Dar Al-Kitab Al-Lubnani, Beirut 1388 (1968).
Kesepuluh karya Sanusi yang diterbitkan adalah:
‑ Dalam bidang Tasawuf
1. Salsabil Muin fi Taraiq Al-Arba’in;
2. Al‑Manhal Al-Rawi Ar‑Raiq fi Asanid Al-Ulum wa‑Ushul At-Taraiq;
3. Majmu 'Ahzab wa Aurad Tariqat As-Sadras‑Sanusiyah;
4. Nazm Siyaras‑Suluk fi At-Tarq ila Hadrat Malikal‑Mulk;
‑ Dalam bidang Hadits:
5. Muqaddimat Muwaththa 'Al-lmam Malik;
6. Al‑Musalsalat Al-Asyara fi Ahadits An‑Nabawiyah;
‑ Dalam bidang Fiqih dan Ushul:
7. Iqdz Al-Wasnan fi Al-Amal bi Al-Hadits wa Al-Quran;
8. Syifa' Al-Sadr bi‑Ara' Al‑Masail Al‑'Afi‑Hikmi Raf’al Yadain fi As-Shalat wa Ghairih;
9. Bughyat Al-Maqasid fi Khulasat Al-Marasid;
‑ Dalam bidang Sejarah:
Dalam buku As-Salsabil Muin fi Tharaiq Al-Arbain As-Sanusi
menjelaskan pengalamannya di dalam, dunia, tasawuf ia mendaftarkan
Thariqat‑Thariqat yang berkembang saat itu. Dari sejumlah Thariqat yang
telah dipelajarinya, sekaligus daftar silsilah Thariqat‑Thariqat
tersebut satu persatu sampai Nabi Saw. As‑Sanusi
kemudian mengemukakan pandangan‑pandangan dan kesan‑kesan pribadinya
terhadap Thariqat-Thariqat. Menurutnya, dari banyak Thariqat yang
berkembang, terdapat ajaran‑ajaran yang menyimpang lantaran sempitnya
pengetahuan tentang Syari'ah dan Tasawuf itu sendiri. Namun ia
menegaskan pula bahwa Tasawuf adalah merupakan suatu jalan dalam
beragama di samping syari'ah. Di sinilah Sanusi menunjukkan
keterkesanannya kepada Al-Ghazali yang berhasil mendamaikan antara
tasawuf dan syari'ah.
Dalam Iqadz Al-Wasnan fi Al‑'Amal bi Al-Hadis wa Al-Quran
As-Sanusi menyerukan kembali agar umat kembali kepada Al‑Quran dan
Sunnah, menyerukan dibuka pintu ijtihad. Ia juga mengkritik para ahli
Hadits yang memahami hadits dari segi lafadz‑lafadz saja tanpa
memperhitungkan konteks waktu. kapan dan tampat mana hadits itu
diriwayatkan. Inilah salah satu ide As-Sanusi, yang seperti diakuinya
sendiri, berasal dari pemikiran Ibn Taimiyah.
Mengenai
ijtihad, Sanusi mengklaimnya sebagai tugas kaum muslim, terutama bagi
yang memahami Al‑Quran dan Sunnah secara mendalam. Bagi yang belum
memenuhi kriteria di atas selayaknya cukup mengetahui kedua sumber itu
untuk dapat memiliki bukti‑bukti sebagai dasar pendapat pribadinya. Jika
tak juga mampu melakukan itu, maka cukuplah baginya bertaqlid, tanpa
harus mengikuti salah satu mazhab secara sempit. Dalam
konteks ini, untuk lebih menjelaskan persoalan kriteria tersebut,
As-Sanusi menempatkan masyarakat berdasarkan kemampuan mereka ke dalam
tiga kelompok. Pertama, kelompok awam yang hanya menerima apa adanya dan percaya saja kepada apa yang mereka dapat. Mereka membutuhkan Pembimbing.Kedua, kelompok
yang telah memiliki kemampuan untuk memilih mana yang baik untuk
dirinya sendiri dari sumber ajaran. Mereka juga masih memerlukan
Pembimbing yang mendampingi agar tidak tersesat. Dan ketiga, adalah kelompok Khawas (elite intelektual) yang dapat mencapai kebenaran berdasarkan kemampuan mereka memahami Al-Quran dan Sunnah. Mereka harus melakukan Ijtihad.
Setelah
Sanusi Al-Kabir wafat tahun 1859, kekhalifahannya dilanjutkan oleh
Muhammad Al-Mahdi (1844‑1902). Ketika itu ia masih berusia 15 tahun dan
dalam masa‑masa menekuni dunia pendidikan. Namun melalui tata cara dan
ujian yang mempertaruhkan jiwanya manakala Sanusi Al-Kabir menantang
anak‑anaknya dan murid‑muridnya yang lain untuk memanjat suatu pohon,
lalu dengan meyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah meloncat dari pohon
tersebut tanpa bantuan apa‑apa Muhammad Al-Mahdi terpilih untuk
melanjutkan perjuangan Thariqat Sanusiyah, walaupun untuk beberapa lama
urusan keorganisasian dibantu oleh murid‑murid senior. Di bawah
kepemimpinannya, yang seterusnya di bantu oleh adiknya, Muhammad
As-Syarif (1846‑1896) Thariqat Sanusiyah tersebar luas di Afrika Utara,
Afrika Barat dan daerah Khatulistiwa Afrika dari danau Chad sampai ke
Senegal. Keberhasilan Muhammad Al-Mahdi, menurut sebagian pendapat, juga
lantaran adanya opini messianistik masyarakat umum. yang mengaitkannya
dengan Imam Mahdi yang dijanjikan Tuhan (Al-Mahdi Al-Muntadzar).
Muhammad Al-Mahdi meninggal pada tanggal 30 Mei 1902 dan kepemimpinannya dilanjutkan olek Ahmad Syarif As-Sanusi (1873‑1933). Periode
ini gerakan Sanusiyah terlibat dalam politik praktis, yakni dengan
perlawanan mereka secara langsung menentang Inggris, Perancis dan
terutama ltalia, yang dewasa itu saling memperebutkan daerah jajahan di
Afrika. Tahun 1911 Italiaa mencoba merebut Libya dari Turki Usmani.
Karena mempertimbangkan wilayah kekuasaannya di daerah Balkan (Eropa
Tengah), Turki lebih mengandalkan gerakan Sanusiyah untuk menghadapi
Italia. Kelompok Sanusiyah sebetulnya tidak begitu senang dengan Turki
yang kala itu sedang mengalami proses sekularisasi, namun ia tetap
menghidupkan semangat ijtihad dan didukung sepenuhnya oleh suku‑suku
Badui di Libya itu, sehingga terjadilah Perang Pertama antara Italia dan
Sanusiyah (First Italiao Sanusi War, 1912‑1917). Usai Perang dunia ke
II (1914‑1918) Italia berusaha untuk minta bantuan Inggris, namun yang
terakhir ini enggan menghadapi Sanusiyah. Tahun 1923‑1932 terjadi
pertempuran kedua atau scond Italiao‑Sanusi war yang
menghancurkan gerakan Sanusiyah di Libya. Selama perang Italia‑Sanusiyah
inilah sejarah memunculkan tokoh mujahid Umar Mukhtar yang terkenal
sebagai "The Lion of Desert”.
Seusai
Perang Italia‑Sanusi Pertama, Ahmad Syarif As-Sanusi sudah pindah dari
Afrika. la tidak lagi terlibat langsung dalam pertempuran, sebaliknya ia
menekuni lagi Kehidupan spiritual/keruhaniannya di Jazirah Arab dan
mengumpulkan ajaran‑ajaran kakeknya, Sanusi Al-Kabir untuk dibukukan,
sedangkan pertempuran-pertempuran dipimpin langsung oleh Umar Mukhtar.
Ketika itulah Kiyai Abdul Fattah dari Indonesia mengambil Thariqat
Sanusiyah ini dari Ahmad Syarif.
|
Komentar
Posting Komentar