Imam Muhammad Baha'uddin Syah Naqsyband
Nama
lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni
Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan
Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharram tahun 717 H/1317 M. Nasabnya
bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA.
Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ''Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid.''
Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari 'khwaja' atau 'khoja' dalam bahasa Persia berarti para kiai agung). Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulal, agar mendidik Bahauddin meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!"
Bahauddin pun berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru.
Bahauddin juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di hadapan Sayyid Amir Kulal, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, "Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!"
Di bawah asuhan Amir Kulal, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu, Bahauddin mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan, yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu, Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulullah SAW.
Di bawah bimbingan Amir Kulal pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulal memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap habis, Sayyid Amir Kulal memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya menunjuk ke puting dadanya dan berkata, "Semua yang ada di sumber ini sudah habis kamu sedot, maka mengembaralah!"
Bahauddin kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai "Naqshaband" (bahasa Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan Indonesia.
Adanya Tarekat Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Eropa dan Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang--sesuai namanya--merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia.
Shah Naqshaband muncul untuk merevitalisasi perilaku beragama dengan mengajak kembali kepada tradisi yang hidup pada zaman Nabi SAW. Bagi Shah Naqshaband, hakikat sebuah tarekat adalah penerapan ajaran syariat dalam wujud yang paling sempurna dan konsisten. Sementara itu, hakikat adalah terealisasikannya "maqam kehambaan" seorang anak manusia di hadapan Allah semata.
Shah Naqshaband menyatakan bahwa tasawuf adalah inti agama dan inti terdalam dari tasawuf itu sendiri adalah muraqabah, musyahadah, dan muhasabah. Muraqabah adalah melupakan segala sesuatu yang selain Allah dengan hanya memfokuskan hati dan perbuatan hanya kepada-Nya.
Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah dalam seluruh eksistensi. Sementara itu, muhasabah adalah instropeksi diri yang terus-menerus agar tidak lalai dari jalan yang mulia ini. Dengan ketiga inti tasawuf itu, hati seorang saleh terus hidup dan dihidupkan oleh zikir dan kebersamaan bersama Allah dalam setiap detak jantung dan embusan napasnya sampai dia tertidur sekalipun!
Agar mencapai maqam tersebut, seorang saleh harus menjalani pelatihan di bawah bimbingan seorang mahaguru spiritual. Dialah yang akan mengajarkannya prosesi berzikir dalam hati sesuai dengan firman Allah, "Dan, sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan penuh kesungguhan dan rasa takut (akan tidak diterima amal perbuatanmu), tanpa mengangkat suara pada siang dan sore hari dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah" (QS Al-A`raaf: 205).
Zikir dalam hati dipilih karena silsilah utama tarekat ini bersambung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Metode zikir ini diajari oleh Rasulullah dan berbeda dengan tarekat lain yang semuanya bersambung melalui Ali bin Abi Thalib yang diajari berzikir dengan menggunakan suara jelas. Zikir dalam hati adalah ibadah yang terbesar (sesuai dengan bunyi tekstual QS Al-`Ankabuut: 45) dan bisa dilaksanakan dalam keadaan apa pun.
Zikir dalam hati yang dilakukan oleh seorang Naqsyabandi menggunakan Lafdzul Jalalah (Allah) dan Laa Ilaaha illalLaah yang dilafalkan dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan langsung oleh seorang mahaguru sufi (syekh). Dengan prosesi zikir ini, seorang Naqshabandi meniti tangga-tangga makrifat.
Shah Naqshaband pernah menyatakan bahwa shalat adalah titian spiritual yang paling efektif bagi seorang saleh asalkan shalatnya khusyuk. Untuk mewujudkannya, seorang saleh diharuskan mengonsumsi makanan yang halal baginya dan tidak pernah lalai mengingat atau "bersama" dengan Allah dalam kesehariannya, lebih khusus lagi saat berwudhu serta bertakbiratul ihram.
Di sisi lain, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah sebuah perilaku sosial yang positif. Bukan sekadar berbudi pekerti yang luhur, melainkan juga berbuat kebajikan kepada sesama makhluk Allah. Seorang saleh tidak boleh merasa dirinya lebih mulia dari seekor anjing sekalipun. Dia juga selalu siap mengulurkan tangan kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan, bantuan tersebut bukan sekadar diberikan dalam bentuk material semata, tetapi juga rohaniah dan spiritual.
Selain itu, bertasawuf juga berarti menghormati waktu. Shah Naqshaband pernah menegaskannya dalam bahasa Persia, "Orang yang berakal pasti tidak suka berkawan dengan seorang yang suka menunda-nunda pekerjaan jika mampu dilakukannya hari ini." Waktu harus digunakan untuk ibadah dalam pengertiannya yang paling komprehensif: berbuat kebajikan, baik yang ritual maupun yang sosial. Dan, tidak boleh ada waktu yang berlalu sedetik pun tanpa yakin bahwa kita selalu "mengingat" dan "bersama" Allah.
Dengan demikian, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah mewujudkan ketundukan penuh kepada Nabi Muhammad SAW secara paripurna: menjalankan perintahnya, menghindari larangannya, meneladani perbuatannya, dan menghayati spiritualitasnya, sesuai dengan ajaran Islam menurut mazhab ahlussunnah wal jamaah.
Tidak heran kalau banyak ulama yang mengakui bahwa Tarekat Naqshabandiyah adalah saripati semua tarekat sufi. Dan, barang siapa yang suluknya tidak sesuai dengan ajaran Shah Naqshaband di atas berarti sudah keluar dari jalur yang benar meskipun mengaku sebagai pengikut beliau. Shah Naqshaband pernah menegaskan, "Tasawuf adalah syariat. Dan, barang siapa yang mengaku sebagai pengikut tasawuf, tetapi tidak menerapkan syariat, berarti dia telah tersesat!"
Beliau adalah Guru dari tarekat ini dan syekh dari Mata Rantai Emas serta merupakan pembawa alur Khwajagan yang terbaik.
Beliau dilahirkan di bulan Muharram pada tahun 717 H/1317 M, di desa Qasr al-`Arifan, dekat Bukhara. Allahswt. menganugerahkannya kekuatan-kekuatan ajaib di masa kecilnya. Beliau telah diajari rahasia tarekat ini oleh guru pertamanya, Sayyid Muhammad Baba As-Samasiq.s. Kemudian beliau diberikan rahasia dan kemampuan dari tarekat ini oleh Syaikhnya, Sayyid Amir al-Kulalq.s. Beliau juga merupakan Uwaysi dalam hubungannya dengan Rasulullahsaw., karena beliau dibesarkan dalam hadirat spiritual Abdul Khaliq al-Ghujdawaniq.s., yang telah mendahuluinya selama 200tahun.
Suatu hari, saat Syah Baha?uddin k dan semua pengikut Sayyid Amir Kulal k sedang beristirahat dari pekerjaan membangun sebuah masjid yang baru, Sayyid Amir Kulal k berkata, ?Barang siapa yang memiliki prasangka buruk tentang anakku Baha?uddin k, dia adalah salah. Allah I telah menganugerahinya suatu rahasia yang belum pernah diberikan kepada siapapun sebelumnya. Bahkan Aku pun tak mampu untuk mengetahuinya.? Beliau lalu berkata padanya,
Wahai anakku, Aku telah memenuhi wasiat dan nasihat Syaikh Muhammad Baba as-Samasi k ketika beliau menyuruhku untuk membesarkanmu dan merawatmu dalam jalan latihanku hingga engkau menjadi lebih baik daripadaku. Hal ini telah kukerjakan, dan engkau telah memiliki kapasitas untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi dan tinggi lagi. Jadi, anakku tercinta, saat ini Aku sepenuhnya mengizinkan engkau untuk pergi ke mana pun yang engkau kehendaki dan untuk mendapatkan ilmu dari siapa pun yang engkau temui.
Di awal perjalananku di thariqat ini, Aku bertemu dengan seorang Sufi, dan dia berkata, ?Sepertinya kau berasal dari kami? Aku berkata kepadanya, ?Aku berharap kau berasal dari kami dan Aku berharap dapat menjadi temanmu.? Suatu saat dia bertanya padaku, ?Bagaimana kau memperlakukan dirimu sendiri?? Aku menjawab, ?Bila Aku menemukan sesuatu Aku bersyukur kepada Allah I, dan bila tidak, Aku bersabar.? Dia tersenyum dan berkata, ?Itu mudah. Caranya bagimu adalah dengan membebani egomu dan mengujinya. Bila dia kehilangan makanan selama seminggu, kau harus mampu untuk menjaganya agar tetap mematuhimu.? Aku amat berbahagia dengan jawabannya dan Aku meminta dukungannya. Dia menyuruhku untuk membantu yang memerlukan dan untuk melayani yang lemah dan untuk membesarkan hati orang yang putus asa. Dia menyuruhku untuk menjaga kerendahan, ke-tawadhu-an dan tenggang rasa. Aku menjaga perintah-perintahnya dan Aku habiskan berhari-hari dalam hidupku dengan cara seperti itu. Kemudian dia memerintahkan aku untuk merawat binatang, menyembuhkan penyakitnya, membasuh luka-lukanya, dan membantu mereka untuk menemukan persediaan makanan dan minumannya. Aku menjalankannya hingga Aku mencapai suatu keadaan di mana bila Aku bertemu binatang di jalanan, maka Aku akan berhenti, dan memberikan mereka jalan.
Kemudian dia menyuruhku untuk memelihara anjing-anjing melalui Penyatuan Pikiran dengan penuh Kejujuran dan Kerendahan, dan meminta bantuan mereka. Dia mengatakan, ?Karena pelayananmu terhadap salah satu dari mereka, maka engkau akan mencapai kebahagiaan yang sangat.? Aku terima perintah tersebut dengan harapan bahwa Aku akan menemukan satu anjing dan melalui pelayanan terhadapnya, Aku akan menemukan kebahagiaan itu. Suatu hari pikiranku menyatu dengan salah satu dari mereka dan Aku merasakan kebahagiaan yang amat sangat. Aku mulai menangis di hadapannya hingga dia telentang dan menengadahkan kaki depannya ke langit. Aku mendengar sebuah suara yang amat sedih yang berasal darinya lalu Aku pun menengadahkan tangan, berdo?a dan mulai mengatakan ?amin? mendukung do?anya hingga akhirnya dia tak bersuara lagi. Yang kemudian terbuka padaku adalah suatu pandangan yang membawaku pada suatu keadaan di mana Aku merasa menjadi bagian dari setiap manusia dan juga bagian dari setiap makhluk di muka bumi ini.
Untuk menyangkal keberadaanmu dan untuk mengacuhkan dan mengabaikan egomu adalah yang berlaku dalam thariqat ini. Dalam keadaan ini Aku memasuki setiap tingkat keberadaan, yang membuatku menjadi bagian dari semua makhluk dan yang mengembangkan keyakinan dalam diriku bahwa setiap orang lebih baik daripada aku sendiri. Aku melihat bahwa setiap orang menyediakan suatu manfaat dan hanya Akulah yang tak memberikannya. Suatu hari sebuah keadaan yang amat mencengangkan terjadi padaku. Aku mendengarkan Suara Ilahi berkata, ?Mintalah apapun yang kau suka dari Kami.? Lalu Aku memohon, ?Ya Allah I, anugerahilah aku dengan setetes dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu.? Dan jawabannya datang, ?Kau hanya meminta setetes dari Ke-Maha Pemurahan Kami?? Hal ini laksana jutaan tamparan keras di wajahku dan sengatannya tersisa di pipiku selama berhari-hari. Kemudian suatu hari Aku berkata, ?Ya, Allah I anugerahilah hamba dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu, Kekuatan untuk membawanya.? Pada saat itu sebuah pengelihatan terbuka padaku di mana Aku didudukkan di atas sebuah singgasana di atas suatu Samudra Rahmat. Dan sebuah suara berkata kepadaku, ?Samudra Rahmat ini adalah untukmu. Berikanlah dia kepada hamba-hamba-Ku.?
Aku menerima rahasia dari berbagai sisi, khususnya dari Uwais al-Qarani y, yang amat mempengaruhi aku untuk meninggalkan hal-hal duniawi dan untuk melekatkan diri hanya pada hal-hal ruhaniah. Aku menjalankannya dengan tetap berpegang teguh pada syari?ah dan perintah Rasulullah e, hingga Aku mulai menyebarkan Pengetahuan Ghaib dan rahasia-rahasia yang dianugerahkan dari Yang Maha Esa yang belum pernah diberikan oleh siapa pun sebelumnya.
Suatu ketika ash-Shiddiq y berkata, ?Aku tak pernah melihat sesuatu pun, kecuali Allah I berada di depannya,? dan Umar al-Faruq y berkata, ?Aku tak pernah melihat sesuatu pun, melainkan Allah I selalu berada di belakangnya.? Dan Utsman y berkata, ?Aku tidak pernah melihat sesuatu pun, melainkan Allah I berada di sampingnya,? dan ?Ali y berkata, ?Aku tidak pernah melihat sesuatu pun melainkan Allah I berada di dalamnya.? Beliau mengomentari bahwa, perbedaan dalam perkataan-perkataan ini didasarkan pada perbedaan situasi pada saat mereka berkata-kata, dan bukannya perbedaan dalam kepercayaan dan pemahaman.
Suatu ketika beliau ditanya, ?Apa yang dimaksud dengan Berjalan dalam Jalur?? Beliau berkata, ?Detailnya dalam pengetahuan spiritual.? Mereka bertanya, ?Apakah detail dalam pengetahuan spiritual itu?? Beliau menjawab,
Orang yang mengetahui dan menerima apa yang dia ketahui akan diangkat dari keadaan bukti nyata kepada keadaan pengelihatan. Barang siapa yang meminta untuk berada di Jalan Allah I maka dia telah meminta jalan penderitaan. Diriwayatkan oleh Rasulullah e, ?Barang siapa yang mencintaiku maka aku akan membebaninya.? Seseorang datang kepada Rasulullah e dan berkata, ?Wahai Nabi e, Aku mencintaimu,? dan Nabi e berkata, ?Maka bersiaplah untuk menjadi miskin.? Lain waktu orang lain lagi datang kepada Rasulullah e dan berkata, ?Ya, Rasulullah e, Aku mencintai Allah I,? dan Rasulullah e berkata, ?Maka siapkanlah dirimu untuk penderitaan.?
Beliau membaca sebuah ayat,
Setiap orang mendambakan kebaikan,
Namun tak seorang pun telah meraih kenaikan, Melainkan dengan mencintai
Sang Pencipta kebaikan.
Beliau berkata, ?Barang siapa yang mencintai dirinya sendiri, harus menyangkal dirinya, dan barang siapa yang menginginkan yang lain selain dirinya sendiri, sesungguhnya yang diinginkannya hanyalah dirinya sendiri.?
1. Muraqaba-Perenungan (kontemplasi)
2. Musyahada-Pengelihatan
3. Muhasaba-Penghitungan
Dalam keadaan perenungan, si pencari melupakan mahkluk dan hanya mengingat Sang Khalik saja.
Dalam keadaan pengelihatan, ilham dari Yang Ghaib mendatangi hati si pencari dengan disertai dua keadaan: penciutan dan pengembangan.
Pada keadaan penciutan, pengelihatan adalah tentang Ke-MahaKuasa-an, dan pada keadaan pengembangan pengelihatan adalah tentang Ke-Maha-Indahan.
Pada keadaan penghitungan, si Pencari mengevaluasi setiap jam yang telah lewat: apakah dia berada seluruhnya bersama Allah I ataukah berada seluruhnya bersama dunia?
Si pencari dalam thariqat ini pastilah amat sibuk menolak bisikan Setan dan godaan egonya. Dia mungkin menolaknya bahkan sebelum mereka mencapainya; atau dia mungkin menolaknya setelah mereka mencapainya namun sebelum mereka memegang kendali atasnya. Pencari lain, mungkin saja tidak menolaknya hingga mereka mencapainya dan mengendalikannya. Dia tak akan mendapatkan buahnya, karena pada saat seperti itu adalah mustahil untuk mengeluarkan bisikan-bisikan itu dari hatinya.
Beliau diminta untuk memperlihatkan kekuatan ajaibnya. Beliau berkata,
Keajaiban apakah yang lebih dahsyat yang ingin kau lihat daripada kenyataan bahwa kita masih berjalan di muka bumi ini dengan semua dosa di atas dan sekeliling kita.
Beliau ditanya, ?Siapakah para pembaca dan siapakah gerangan sang Sufi yang dimaksud oleh Junayd k, ?Putuskanlah dirimu dari para pembaca kitab-kitab, dan bergabunglah dengan para Sufi???
Beliau berkata, ?Para pembaca adalah orang yang sibuk dengan kata-kata dan nama-nama, dan Sufi adalah seseorang yang sibuk dengan inti sari dari nama-nama tersebut.?
Beliau memperingatkan, ?Bila seorang murid, seorang Syaikh atau siapa pun bicara tentang suatu keadaan yang belum didapatkannya, Allah I akan mencegahnya dari mencapai keadaan tersebut. Beliau berkata, ?Cermin dari setiap Syaikh memiliki dua arah. Namun cermin kita memiliki enam arah.?
Apa yang dimaksudkan dengan al-Hadits, ?Aku beserta orang-orang yang mengingat-Ku,? merupakan bukti nyata yang mendukung orang-orang yang di dalam hatinya senantiasa mengingat-Nya. Dan sabda Nabi e yang lainnya berbicara atas Nama Allah I, ?Puasa itu adalah bagi-Ku? merupakan suatu pernyataan bahwa sebenar-benarnya puasa adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah I.
Karena mereka miskin, namun mereka tak perlu memohon. Seperti halnya Nabi Ibrahim u, ketika beliau dilemparkan ke dalam api dan Jibril u datang dan bertanya ?Apakah kau perlu pertolongan?,? dijawabnya, ?Aku tak perlu meminta sesuatu, Dia Maha Tahu keadaanku.?
Kemiskinan merupakan pertanda penghancuran dan penghapusan atribut-atribut kebendaan.
Beliau pernah ditanya, ?Siapakah si miskin itu?? Tak seorang pun menjawabnya. Beliau berkata, ?Si miskin adalah orang yang di dalamnya selalu berjuang dan di luarnya selalu berada dalam ketenangan.?
Adalah tak mungkin untuk meraih cinta dari hamba-hamba Allah I hingga engkau keluar dari dirimu sendiri.
Dalam Thariqat kita, terdapat tiga kategori adab:
1. Adab karimah terhadap Allah I yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, mengharuskan murid untuk menyempurnakan ibadahnya baik secara eksternal maupun internal, menjauhi semua larangan-Nya dan menjalankan segala apa yang telah diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala sesuatu selain Allah I.
2. Adab karimah terhadap Nabi Muhammad e, mengharuskan murid untuk membumbung tinggi pada keadaan yang disebutkan dalam ayat in kuntum tuhibbun Allah fattabi?unii (bila kamu ingin mencintai Allah I, maka ikutilah aku) [3:31]. Dia harus mengikuti semua keadaan Rasulullah e. Dia harus tahu bahwa Rasulullah e adalah jembatan antara Allah I dengan mahkluk-Nya dan bahwa segala sesuatu di bumi ini berada di bawah perintahnya yang mulia.
3. Adab karimah terhadap para Syaikh merupakan suatu keharusan bagi setiap pencari. Para Syaikh merupakan penyebab dan alat untuk mengikuti jejak Rasulullah e. Adalah suatu kewajiban bagi para pencari, baik dalam kehadiran mereka maupun dalam ketidakhadirannya, untuk menjalankan perintah-perintah dari Syaikh tersebut.
Suatu saat salah satu pengikutku memberiku salam. Aku tidak menjawabnya, meskipun merupakan keharusan dalam Sunnah untuk membalas salam. Hal ini membuat pengikutku tersebut kecewa. Aku mengirim seseorang kepadanya untuk meminta maaf, berkata kepadanya, ?Pada saat itu, ketika engkau memberiku salam, pikiranku, hatiku, jiwaku, ragaku, ruhku sedang hilang sepenuhnya dalam Hadirat Ilahi, mendengarkan apa yang dikatakan Allah I kepadaku. Hal ini membuatku begitu terpenuhi dalam Firman Allah I sehingga Aku tak mampu membalas siapapun.?
Hamba-hamba Allah I menanggung beban penciptaan agar semua ciptaan belajar darinya. Allah I melihat pada hati Awliya-Nya dengan cahaya-cahaya-Nya, dan siapa pun yang berada di sekeliling wali itu dia akan mendapat berkah dari cahaya tersebut.
Syaikh harus mengetahui tingkatan muridnya dalam tiga kategori, yaitu: di masa lalu, masa kini, dan masa depan agar dia dapat menaikkan (maqam)-nya.
Siapa pun yang melakukan bay?at dengan kita dan mengikuti kita dan mencintai kita, apakah dia dekat atau jauh, di mana pun dia berada, bahkan jika dia berada di Timur dan kami di Barat, kami memeliharanya dengan aliran cinta dan memberinya cahaya dalam kehidupan sehari-harinya.
Izin untuk melakukan dzikir harus diberikan oleh orang yang sempurna, agar bisa mempengaruhi orang yang menggunakannya, sebagaimana halnya panah dari seorang yang ahli memanah lebih baik daripada panah yang dilepaskan dari busur orang biasa.
Beliau menambahkan 3 Prinsip ke dalam 8 Prinsip Syaikh Abdul Khaliq:
9. Kesadaran akan Waktu (wuquf zamani)
Kesadaran akan waktu berarti memperhatikan ketenangan seseorang dan mengecek kecenderungan seseorang kepada kelalaian. Para pencari harus mengetahui berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bergerak menuju kematangan spiritual dan harus mengenal di tempat apa dia telah sampai dalam perjalannya menuju Hadirat Ilahi. Para pencari harus membuat kemajuan dengan segala usahanya. Dia harus menghabiskan seluruh waktunya untuk satu tujuan yaitu sampai di maqam Cinta Ilahi dan Hadirat Ilahi. Dia harus menjadi sadar bahwa dalam segala usahanya dan dalam segala tindakannya Allah I menyaksikan sampai sedetail-detailnya. Para pencari harus membuat catatan mengenai tindakan dan niatnya setiap hari dan setiap malam dan menganalisa tindakannya setiap jam, setiap detik, dan setiap saat. Jika semuanya baik, dia bersyukur kepada Allah I atas nikmat tersebut. Jika tindakannya buruk, dia harus bertaubat dan memohon ampun kepada Allah I.
Ya’qub al-Charki k berkata bahwa Syaikhnya, Ala’uddin al-Attar k berkata,
Dalam keadaan depresi, engkau harus banyak beristighfar (memohon ampunan Allah I), dan dalam keadaan bergembira, harus banyak bersyukur kepada Allah I.
Sebagai pertimbangan kedua keadaan ini, kontraksi (menciut) dan ekspansi (mengembang), adalah arti dari wuquf zamani.
Syah Naqsyband k menerangkan keadaan tersebut dengan berkata,
Engkau harus menjadi awas akan dirimu. Jika engkau mengikuti syari?ah maka engkau harus bersyukur kepada Allah I, bila tidak, maka engkau harus memohon ampun.
Yang penting bagi seorang pencari dalam keadaan ini adalah menjaga periode waktu terkecil agar tetap aman. Dia harus menjaga dirinya dan menilai apakah dia dalam Hadirat Allah I atau dalam hadirat egonya, setiap saat dalam hidupnya. Syah Naqsyband k berkata, ?Engkau harus mengevaluasi bagaimana engkau menghabiskan waktumu: dalam Kehadiran atau dalam Kelalaian.?
10. Kesadaran akan Jumlah (wuquf `adadi)
Kesadaran akan jumlah berarti para pencari yang sedang berdzikir harus memperhatikan bilangan dzikir yang tepat yang diperlukan dalam dzikir khafi. Menjaga hitungan dzikir ini bukan untuk perhitungan itu sendiri tetapi demi menjaga hati agar tetap aman dari pikiran buruk dan untuk meningkatkan konsentrasi dalam usaha mencapai jumlah pengulangan yang telah ditetapkan oleh Syaikh secepat mungkin. Pilar dzikir melalui perhitungan adalah untuk membawa hati kepada Hadirat Ilahi yang disebutkan dalam dzikir tersebut dan tetap menghitung, satu demi satu, untuk membawa perhatian seseorang kepada realitas bahwa setiap orang membutuhkan Dia Yang Maha Esa yang tanda-tanda (Kebesaran)-Nya tampak pada setiap makhluk.
Syah Naqsyband k berkata, ?Memperhatikan jumlah dzikir adalah langkah pertama dalam tahap mendapatkan Pengetahuan Surgawi (`ilm ul-ladunni).? Ini berarti perhitungan itu mengantarkan seseorang untuk mengenali bahwa hanya Satu yang dibutuhkan dalam hidup. Semua persamaan matematis memerlukan nomor Satu. Semua makhluk membutuhkan Zat Yang Maha Esa.
11. Kesadaran akan Hati (wuquf qalbi)
Kesadaran akan hati berarti mengarahkan hati para pencari menuju Hadirat Ilahi, di mana dia tidak akan melihat yang lain kecuali Yang Paling Dicintainya. Hal itu berarti untuk mengalami manifestasi-Nya (tajjali) dalam semua keadaan. Ubayd Allah al-Ahrar k berkata, ?Tingkat Kesadaran Hati adalah tingkatan untuk hadir dalam Hadirat Ilahi sedemikian rupa sehingga engkau tidak bisa melihat yang lain selain Dia.? Dalam situasi demikian seseorang memusatkan tempat dzikirnya dalam hati sebab inilah pusat kekuatan. Semua pikiran dan inspirasi, baik maupun buruk, jatuh dan muncul satu demi satu, berputar dan mengalir, bergerak di antara terang dan gelap, dalam perputaran yang konstan, di dalam hati. Dzikir diperlukan untuk mengontrol dan mengurangi gejolak dalam hati.
Makna dari Ummat Muhammad e
Syah Naqsyband k berkata,
Ketika Rasulullah e bersabda, ?Porsi ummatku yang ditakdirkan untuk api neraka adalah seperti porsi Ibrahim u yang ditakdirkan untuk api Namrud,? beliau memberi kabar gembira tentang penyelamatan bagi ummatnya sebagaimana Allah I telah menggariskan penyelamatan untuk Ibrahim u, Ya naru kunii bardan wa salaman ?ala Ibrahiim (’Wahai api, jadilah dingin dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim u?) [21:69]. Ini dikarenakan Rasulullah e bersabda, ‘Ummatku tidak akan setuju dengan suatu kesalahan,? menegaskan bahwa Ummat tidak akan menerima perbuatan yang salah, dan dengan demikian Allah I akan menyelamatkan ummat Muhammad e dari api neraka.”
Syaikh Ahmad Faruqi k mengatakan bahwa Syah Naqsyband k berkata,
Ummat Muhammad e meliputi semua orang yang muncul setelah Rasulullah e. Dia terdiri atas 3 macam ummat, yaitu:
1. Ummatu-d-Da?wah: yaitu setiap orang yang benar-benar muncul setelah Rasulullah e dan mendengar pesannya. Dari berbagai ayat dalam al-Quran, sudah jelas bahwa Rasulullah e datang kepada semua manusia tanpa kecuali, lebih jauh lagi ummatnya cukup menjadi saksi bagi ummat-ummat yang lain, dan Rasulullah e adalah orang yang menjadi saksi bagi setiap orang, termasuk ummat-ummat yang lain dan saksi-saksi yang mewakili mereka masing-masing.
2. Ummatu-l-Ijaba: yaitu orang-orang yang menerima pesannya.
3. Ummatu-l-Mutaba?a: yaitu orang-orang yang menerima pesan dan mengikuti jejak Rasulullah e.
Semua golongan ummat Rasulullah e tersebut akan selamat. Jika mereka tidak diselamatkan melalui amalnya, mereka akan diselamatkan melalui Perantaraan Rasulullah e, menurut sabdanya, ?Perantaraanku adalah untuk para pendosa besar di antara Ummatku.?
Dalam Mencapai Hadirat Ilahi
Beliau berkata,
Apa yang dimaksud dengan hadits Rasulullah e, as-shalatu mi?raj ul-mu’min (?Shalat adalah mi?raj bagi orang yang beriman?), adalah indikasi yang jelas mengenai tingkatan Shalat yang sejati, di mana orang-orang yang shalat naik ke Hadirat Ilahi dan padanya terdapat manifestasi rasa hormat yang mendalam, kepatuhan dan kerendahan hati, di mana hatinya mencapai keadaan kontemplasi melalui shalatnya. Ini akan mengantarkannya kepada suatu panorama dari Rahasia Ilahi. Itu adalah deskripsi mengenai shalatnya Rasulullah e dalam sirah (sejarah hidupnya). Dikatakan bahwa ketika Rasulullah e mencapai keadaan tersebut, orang-orang di luar kota pun dapat mendengar suara yang berasal dari dadanya yang menyerupai dengungan lebah.
Salah satu ulama di Bukhara bertanya kepada beliau, ?Bagaimana seorang hamba mencapai Hadirat Ilahi dalam shalatnya?? Beliau menjawab,
Dengan memakan dari hasil jerih payahmu dan dengan mengingat Allah I dalam shalat dan di luar shalatmu, dalam setiap penyucian diri dan dalam setiap peristiwa hidupmu.
Suatu ketika Syah Naqsyband k berkata kepada para pengikutnya, ?Suatu hubungan antara hatimu dengan sesuatu selain Allah I adalah hijab terbesar bagi seorang pencari,? setelah itu beliau membaca bait puisi berikut,
?Hubungan dengan selain Allah I,
?Adalah hijab (sekat) terkuat,
?Dan meninggalkannya,
?Adalah Jalan Pembuka bagi suatu Pencapaian.?
Segera setelah beliau membacakan bait tersebut, terlintas dalam benakku bahwa beliau merujuk pada hubungan antara Iman dan penyerahan diri pada Kehendak Ilahi. Beliau menoleh kepadaku, tertawa dan berkata, ?Apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Hallaj? ?Aku menolak agama Allah I, dan penolakan itu adalah wajib bagiku meskipun tampak menyeramkan bagi kebanyakan Muslim.? Wahai Syaikh Salah, apa yang terlintas dalam benakmu?bahwa hubungan itu adalah dengan Iman dan Islam?bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah Iman Sejati, dan Iman Sejati bagi Orang yang Benar adalah membuat hatinya menyangkal apapun selain Allah I. Itulah yang membuat Hallaj berkata, ?Aku menyangkal agama-Mu dan penyangkalan itu adalah wajib bagiku, meskipun tampak menyeramkan bagi Muslim.? Hatinya tidak menginginkan yang lain kecuali Allah I.
?Tentu saja Hallaj tidak menyangkal Imannya dalam Islam, tetapi beliau menekankan bahwa hatinya hanya terkait kepada Allah I saja. Jika Hallaj tidak menerima segala sesuatu selain Allah I, bagaimana mungkin orang mengatakan bahwa sebenarnya beliau menyangkal agama Allah I? Pernyataannya tentang realitas Kesaksiannya mencakup segalanya dan membuat kesaksian Muslim yang awam menjadi mainan anak-anak.?
Syaikh Salah k melanjutkan,
Syah Naqsyband k berkata, ?Hamba-hamba Allah I tidak bangga dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukannya karena cinta kepada Allah I.?
?Rabi?a al-?Adawiyya k berkata, ?Ya Allah I, Aku tidak beribadah untuk mencari balasan Surga-Mu, tidak pula karena takut akan siksa-Mu, tetapi Aku menyembah-Mu hanya untuk Cinta-Mu.? Jika ibadahmu untuk menyelamatkan dirimu sendiri atau untuk mendapat balasan tertentu bagi dirimu sendiri, maka itu adalah syirik yang tersembunyi, karena engkau telah menyekutukan Allah I baik dengan pahala maupun azab. Inilah yang dimaksud oleh Hallaj.?
Syaikh Arslan ad-Dimasyqi k berkata sebagaimana yang diceritakan oleh Syah Naqsyband k,
Ya Allah I, agama-Mu bukanlah apa-apa, melainkan syirik yang tersembunyi, dan untuk tidak beriman kepadanya adalah wajib bagi seluruh hamba yang benar. Orang-orang yang beragama tidak menyembah-Mu, mereka hanya beribadah untuk mendapat Surga atau agar selamat dari Neraka. Mereka menyembah keduanya sebagai berhala, dan itulah seburuk-buruknya kemusyrikan. Engkau telah berkata, man yakfur bi-t-taghuti wa yu’min billahi faqad istamsaka bil-?urwati-l-wutsqa (?Barangsiapa yang ingkar terhadap Taghut (berhala) dan beriman kepada Allah I, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada Pegangan (Tali) yang Kokoh?) [2:256]. Untuk ingkar kepada berhala-berhala ini dan beriman kepada-Mu adalah wajib bagi orang-orang yang benar.
Syaikh Abul-Hasan asy-Syadzili k, salah seorang Syaikh Sufi agung pernah ditanya oleh Syaikhnya, ?Wahai anakku, dengan apa engkau akan bertemu Tuhanmu?? Beliau berkata, ?Aku datang kepada-Nya dengan kemiskinanku.? Syaikhnya menjawab,
Wahai anakku, jangan kau ulangi lagi hal ini. Ini adalah berhala terbesar, karena engkau masih mendatangi-Nya dengan sesuatu. Bebaskan dirimu terhadap segala sesuatu baru kemudian engkau datang kepada-Nya. Para fuqaha (ahli hukum) dan pemegang ilmu eksternal memegang teguh pada perbuatan mereka dan dengan dasar tersebut mereka mengembangkan konsep pahala dan azab. Jika mereka baik, mereka akan mendapat kebaikan dan bila mereka buruk mereka menemukan keburukan, apa yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah perbuatannya dan apa yang menyakitinya adalah perbuatannya juga. Bagi penganut thariqat, hal ini adalah syirik tersembunyi, karena seseorang menyekutukan sesuatu dengan Allah I. Meskipun untuk melakukan (perbuatan baik) adalah suatu kewajiban, tetap saja hati tidak boleh terikat dengan perbuatan tersebut. Perbuatan itu hanya dilakukan karena Allah I dan untuk Cinta-Nya, tanpa pamrih apa pun.
Thariqat kita sangat langka dan sangat berharga. Ini adalah ?urwati-l-wutsqa (?Memegang Teguh?), jalan untuk memegang jejak Rasulullah e dan para Sahabatnya dengan teguh dan kokoh. Mereka membawaku ke jalan ini dari pintu Nikmat, karena pada awal dan akhirnya, Aku tidak melihat apapun kecuali Nikmat Allah I. Di jalan ini pintu-pintu besar dari Pengetahuan Surgawi akan dibukakan bagi para pencari yang mengikuti jejak Rasulullah e.
Untuk mengikuti Sunnah Rasulullah e adalah jalan terpenting yang akan membukakan pintu kepadamu.
Barangsiapa yang tidak datang ke jalan kita, maka agamanya berada dalam bahaya.
Beliau pernah ditanya, ?Bagaimana seseorang datang ke jalanmu?? Beliau menjawab, ?Dengan mengikuti Sunnah Rasulullah e.?
Kami telah membawa penghinaan dalam Jalan ini, dan sebagai balasannya Allah I memberkati kita dengan Kemuliaan-Nya.
Beberapa orang berkata tentang beliau bahwa kadang-kadang beliau terlihat arogan. Beliau berkata, ?Kami bangga karena Dia, karena Dia adalah Tuhan kami, yang memberi kami Dukungan-Nya!
Beliau berkata, ?Untuk mencapai Rahasia Ke-Esaan kadang-kadang mungkin, tetapi untuk meraih Rahasia Pengetahuan Spiritual (ma?rifat) adalah sangat sulit sekali.?
Pengetahuan Spiritual bagaikan air, dia mengambil warna dan bentuk cangkirnya. Pengetahuan Allah I begitu luar biasa, sehingga berapa pun yang kita ambil, itu hanya seperti sebuah tetes dalam Samudra yang Mahaluas. Dia bagaikan taman yang sangat luas, berapa pun yang kita pangkas, seolah-olah kita hanya memangkas sekuntum bunga saja.
Pandangannya terhadap Makanan
Syah Naqsyband k, semoga Allah I mensucikan jiwanya, berada dalam tingkatan tertinggi dalam menolak keinginan terhadap dunia ini. Beliau mengikuti jalan yang shaleh, terutama dalam hal tata cara makannya. Beliau mengambil segala jenis pencegahan sehubungan dengan makanannya. Beliau hanya mau makan dari barley yang ditanamnya sendiri. Beliau akan memanennya, menggilingnya, membuat adonan, menanak dan memanggangnya sendiri. Semua ulama dan para pencari di masanya membuat jalan mereka menuju rumahnya, agar bisa makan di mejanya dan mendapatkan berkah dari makanannya.
Beliau mencapai suatu kesempurnaan dalam hal penghematan; di musim dingin, beliau hanya meletakkan selembar karpet tua di lantai rumahnya dan ini tidak memberi perlindungan dari udara dingin yang menusuk. Di musim panas beliau meletakkan tikar yang sangat tipis di lantai. Beliau mencintai orang yang miskin dan membutuhkan. Beliau mendorong para pengikutnya untuk mencari nafkah dengan cara yang halal, yaitu dengan membanting tulang. Beliau mendorong mereka untuk membagikan uangnya kepada fakir miskin. Beliau memasak untuk fakir miskin dan mengundang mereka untuk makan bersama. Beliau melayani mereka dengan tangannya sendiri yang suci dan mendorong mereka agar tetap berada di Hadirat Allah I. Jika salah seorang di antara mereka memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan cara yang tidak baik, beliau akan menegurnya, melalui pandangan spiritualnya terhadap apa yang telah mereka lakukan dan mendorong mereka untuk tetap ingat kepada Allah I ketika sedang makan.
Beliau mengajarkan bahwa,
Salah satu pintu yang paling penting menuju ke Hadirat Allah I adalah makan dengan Kesadaran. Makanan memberikan kekuatan bagi tubuh, dan makan dengan kesadaran memberikan kesucian bagi tubuh.
Suatu saat beliau diundang ke sebuah kota bernama Ghaziat di mana salah seorang muridnya telah menyiapkan makanan baginya. Ketika mereka duduk untuk makan, beliau tidak menyentuh makanannya. Tuan rumah menjadi terkejut. Syah Naqsyband k berkata, ?Wahai anakku, Aku ingin tahu bagaimana engkau menyiapkan makanan ini. Sejak engkau membuat adonan dan memasaknya sampai engkau menyajikannya, engkau berada dalam keadaan marah. Makanan in bercampur dengan kemarahan itu. Jika kita memakan makanan itu, Setan akan menemukan jalan untuk masuk melaluinya dan menyebarkan seluruh sifat buruknya ke seluruh tubuh kita.?
Di waktu yang lain beliau diundang ke kota Herat oleh rajanya, Raja Hussain. Raja Hussain sangat senang dengan kunjungan Syah Naqsyband k dan memberikan pesta besar baginya. Raja mengundang semua mentrinya, Syaikh-Syaikh dari kerajaannya dan seluruh tokoh terhormat. Beliau berkata, ?Makanlah makanan ini. Ini adalah makanan yang murni, yang dibuat dari uang yang halal yang kudapat dari warisan ayahku.? Semua orang makan kecuali Syah Naqsyband k, hal ini mendorong Syaikh ul-Islam pada saat itu, Qutb ad-din, untuk bertanya, ?Wahai Syaikh kami, mengapa engkau tidak makan?? Syah Naqsyband k berkata, ?Aku mempunyai seorang hakim tempat Aku berkonsultasi. Aku bertanya kepadanya dan hakim itu berkata kepadaku, ?Wahai anakku, mengenai makanan ini terdapat dua kemungkinan. Jika makanan ini tidak halal dan engkau tidak makan, bila engkau ditanya engkau dapat mengatakan Aku datang ke meja seorang raja tetapi Aku tidak makan. Maka engkau akan selamat karena engkau tidak makan. Tetapi bila engkau makan dan engkau ditanya, maka apa yang akan kau katakan? Maka engkau tidak akan selamat.? Pada saat itu, Qutb ad-Din begitu terkesan dengan kata-kata ini dan tubuhnya mulai bergetar. Beliau harus meminta izin kepada raja untuk menghentikan makannya. Raja sangat heran dan bertanya, ?Apa yang harus kita lakukan dengan semua makanan ini?? Syah Naqsyband k berkata, ?Jika ada keraguan mengenai kesucian makanan ini, lebih baik berikan kepada fakir miskin. Kebutuhan mereka (akan makanan-red) akan membuatnya halal bagi mereka. Jika seperti yang engkau katakan, makanan ini halal, maka akan lebih banyak lagi berkah dalam pemberian makanan ini sebagai sedekah kepada mereka yang membutuhkan daripada menjamu orang-orang yang tidak (benar-benar membutuhkannya-red).?
Sebagian besar hari-harinya dijalani dengan berpuasa. Jika seorang tamu mendatanginya dan beliau mempunyai sesuatu yang bisa ditawarkan kepadanya, maka beliau akan duduk menemaninya, membatalkan puasanya dan makan bersamanya. Beliau berkata kepada para pengikutnya bahwa para Sahabat Rasulullah e biasa melakukan hal yang sama. Syaikh Abul Hasan al-Kharqani k berkata dalam bukunya, Prinsip-Prinsip Thariqat dan Prinsip-Prinsip dalam Meraih Makrifat,
Jagalah keharmonisan dengan para sahabat, tetapi tidak dalam berbuat dosa. Ini berarti bahwa jika engkau sedang berpuasa, lalu ada seseorang yang berkunjung sebagai teman, maka engkau harus duduk bersamanya dan makan bersamanya demi menjaga adab dalam berteman dengannya. Salah satu prinsip dalam puasa, atau ibadah lainnya adalah menyembunyikan apa yang dilakukan oleh seseorang. Jika seseorang membukanya, misalnya dengan berkata kepada tamunya bahwa dia sedang berpuasa, maka kebanggaan bisa masuk ke dalam dirinya sehingga menghancurkan puasanya. Inilah alasan di balik prinsip tersebut.
Suatu hari beliau diberikan seekor ikan yang telah dimasak sebagai hadiah. Di sekitarnya terdapat banyak orang miskin, di antara mereka terdapat seorang anak yang sangat shaleh dan sedang berpuasa. Syah Naqsyband k memberikan ikan itu kepada orang-orang miskin dan mengatakan kepada mereka, ?Silakan duduk dan makan,? demikian pula kepada anak yang sedang berpuasa itu, ?Duduk dan makanlah.? Anak itu menolak. Beliau berkata lagi, ?Batalkan puasamu dan makanlah,? lagi-lagi anak itu menolak. Beliau bertanya kepadanya, ?Bagaimana jika Aku memberimu salah satu di antara hari-hariku di bulan Ramadhan? Maukah engkau duduk dan makan?? Sekali lagi dia menolak. Beliau berkata kepadanya, ?Bagaimana jika Aku memberimu seluruh Ramadhanku?? Namun masih saja dia menolak. Beliau berkata, ?Bayazid al-Bistami k pernah suatu kali dibebani orang sepertimu.? Sejak saat itu anak itu terlihat berpaling untuk mengejar kehidupan duniawi. Dia tidak pernah berpuasa dan tidak pernah beribadah lagi.
Insiden yang dirujuk oleh Syah Naqsyband k terjadi ketika Syaikh Abu Turab an-Naqsybandi k mengunjungi Bayazid al-Bistami k. Pelayan beliau menawarkan makanan. Abu Turab k berkata kepada pelayan itu, ?Datanglah ke sini, duduk dan makan bersamaku.? Pelayan itu menolak, ?Tidak, Aku sedang berpuasa.? Beliau berkata, ?Makanlah, dan Allah I akan memberimu pahala puasa selama satu tahun.? Dia tetap menolak. Beliau berkata lagi, ?Ayo makan, Aku akan berdo?a kepada Allah I agar Dia memberimu pahala dua tahun puasa.? Kemudian Hadrat Bayazid k berkata, ?Tinggalkan dia. Allah I tidak lagi memeliharanya.? Hari-hari berikutnya kehidupannya semakin buruk dan dia menjadi seorang pencuri.
Keajaiban-Keajaiban dan Kemurahannya
Keadaan Syah Naqsyband k berada di luar jangkauan untuk dilukiskan dan tingkat pengetahuannya pun tidak dapat dilukiskan. Salah satu keajaiban terbesarnya adalah eksistensinya itu sendiri. Beliau sering menyembunyikan tindakannya dengan tidak memperlihatkan kekuatan ajaibnya. Namun demikian banyak keajaibannya yang tercatat.
Syah Naqsyband k, semoga Allah I memberkati jiwanya, berkata,
Suatu hari Aku pergi bersama Muhammad Zahid k ke gurun. Beliau adalah seorang murid yang dapat dipercaya dan kami memiliki sebuah kapak beliung (pickaxe) yang kami gunakan untuk menggali. Ketika kami sedang bekerja dengan beliung itu, kami berdiskusi tentang tingkat pengetahuan yang dalam seperti itu di mana kami melempar beliung dan masuk lebih dalam ke dalam pengetahuan spiritual. Kami bergerak semakin dalam sampai pembicaraan kami mengantarkan kami pada asal penyembahan (ibadah). Dia bertanya kepadaku, ?Wahai Syaikhku, sampai batas mana yang bisa dicapai oleh ibadah?? Aku berkata, ?Ibadah mencapai tingkat kesempurnaan di mana orang yang beribadah dapat berkata kepada seseorang ?meninggal? dan orang itu akan meninggal.? Tanpa sadar Aku menunjuk pada Muhammad Zahid k. Dengan segera dia meninggal. Dia berada dalam keadaan meninggal sejak matahari terbit hingga tengah hari. Hari itu sangat panas. Aku merasa cemas karena tubuhnya menjadi rusak akibat panas yang berlebihan. Aku menariknya ke bawah bayangan pohon dan Aku duduk di sana merenungkan persoalan ini. Ketika Aku merenung sebuah inspirasi dari Hadirat Ilahi masuk ke dalam hatiku dan mengatakan kepadaku agar berkata kepadanya, ?Wahai Muhammad, hiduplah!’ Aku mengucapkannya 3 kali. Hasilnya, jiwanya mulai memasuki tubuhnya, dan kehidupan mulai kembali lagi padanya. Secara perlahan dia kembali ke keadaan semula. Aku pergi ke Syaikhku dan menceritakan apa yang terjadi. Beliau berkata, ?Wahai anakku, Allah I memberimu suatu rahasia yang belum pernah diberikan kepada orang lain.?
Syaikh Alauddin al-’Attar k berkata,
Suatu ketika raja Transoxiana, Sultan Abdullah Kazgan, datang ke Bukhara. Beliau memutuskan untuk berburu di sekitar Bukhara dan banyak orang yang menemaninya. Syah Baha’uddan Naqsyband k berada di desa sekitar. Ketika orang pergi berburu, Syah Naqsyband k pergi ke puncak bukit dan duduk di sana. Ketika beliau sedang duduk di sana, dalam benaknya terlintas pikiran bahwa Allah I memberikan kemuliaan yang berlimpah kepada para awliya. Karena kemuliaan itu, semua raja di dunia ini akan membungkuk kepada mereka. Belum lagi pikiran itu hilang dari hatinya, seorang penunggang kuda dengan mahkota di kepalanya seperti seorang raja, datang ke hadiratnya dan turun dari kudanya. Dengan rendah hati dia menyalami Syah Naqsyband k dan berdiri di hadiratnya dengan sangat sopan. Dia membungkuk di hadapan Syaikh tetapi Syaikh tidak menoleh kepadanya. Beliau membiarkannya berdiri selama satu jam. Akhirnya, Syah Naqsyband k melihatnya dan berkata, ?Apa yang engkau lakukan di sini?? Dia berkata, ?Aku seorang raja, Sultan Kazgan. Aku sedang pergi berburu, dan Aku mencium aroma yang sangat indah. Aku mengikutinya ke sini dan Aku menemukan engkau duduk di tengah cahaya yang sangat kuat.? Pikirannya yang tadi, ?Semua raja di dunia ini akan membungkuk kepada para awliya? langsung menjadi kenyataan. Itulah bagaimana Allah I memuliakan pikiran para awliya-Nya.
Salah satu pengikutnya yang melayaninya di kota Merv melaporkan,
Suatu hari Aku ingin menemui keluargaku di Bukhara setelah mendengar bahwa saudaraku Syamsuddin meninggal. Aku membutuhkan izin dari Syaikhku untuk pergi. Aku berbicara dengan Amir Hussain, Pengeran dari Heart, untuk memintakan izin kepada Syah Naqsyband k atas namaku. Dalam perjalanan sepulang shalat Jumat, Amir Hussain mengatakan kepadanya tentang kematian saudaraku dan bahwa Aku meminta izin untuk pergi menemui keluargaku. Beliau berkata, ?Tidak, hal itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin engkau berkata bahwa dia telah meninggal karena Aku melihatnya masih hidup. Lebih dari itu, Aku bahkan dapat mencium wangi tubuhnya. Aku akan membawanya ke sini sekarang.? Beliau baru saja mengakiri ucapannya ketika saudaraku muncul. Dia mendekati Syaikh, mencium tangannya dan menyalami Amir Hussain. Aku memeluk saudaraku dan itu adalah kebahagaiaan yang sangat besar di antara kami.
Syaikh Alauddin Attar k berkata,
Syaikh Syah Naqsyband k suatu kali duduk di sebuah asosiasi yang besar di Bukhara dan berbicara mengenai pembukaan tabir pandangan spiritual. Beliau berkata, ?Sahabat terbaikku, Mawla ‘Arif, yang berada di Khwarazm, (400 mil dari Bukhara) telah meninggalkan Khwarazm untuk gedung pemerintah, dan beliau sampai di stasiun kereta berkuda. Ketika beliau sampai di stasiun tersebut beliau tinggal di sana untuk beberapa saat dan sekarang kembali lagi ke rumahnya di Khwarazm. Beliau tidak melanjutkan perjalanannya ke Saray. Inilah bagaimana seorang wali dapat melihat dalam maqam pengetahuannya spiritualnya.? Setiap orang kaget mendengar cerita ini tetapi kami semua tahu bahwa beliau adalah seorang wali besar, maka kami mencatat waktu dan harinya. Suatu hari Mawla ‘Arif datang dari Khwarazm ke Bukhara dan kami memberitahu dia mengenai kejadian itu. Dia sangat kaget dan berkata, ?Sebenarnya, itulah kejadian yang sesungguhnya.?
Beberapa ulama dari Bukhara bepergian ke Iraq bersama beberapa murid Syah Naqsyband k ketika mereka tiba di kota Simnan. Mereka mendengar bahwa ada sosok yang diberkati yang bernama Sayyid Mahmoud, yang merupakan murid Syaikh. Mereka pergi mengunjungi rumahnya dan bertanya kepadanya, ?Bagaimana engkau bisa berhubungan dengan Syaikh?? Beliau berkata,
Suatu ketika Aku melihat Rasulullah e dalam sebuah mimpi, duduk di sebuah tempat yang sangat baik, dan di sampingnya duduk seorang dengan penampilan yang sangat elok. Aku berkata kepada Rasulullah e dengan penuh hormat dan rendah hati, ?Ya Rasulullah e, Aku tidak diberi kemuliaan untuk menjadi sahabatmu semasa hidupmu. Apa yang dapat kulakukan dalam hidupku agar bisa mendekati kemuliaan itu?? Beliau berkata, ?Wahai anakku jika engkau ingin dimuliakan dengan menjadi sahabat kami dan duduk bersama kami dan diberkati, engkau harus mengikuti anakku, Syah Baha?uddin Naqsyband k.? Aku lalu bertanya, ?Siapakah Syah Baha?uddin Naqsyband k?? Beliau menjawab kepadaku, ?Apakah engaku lihat orang yang duduk di sebelahku? Inilah orangnya. Jagalah kebersamaanmu dengannya.? Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Ketika Aku bangun, Aku menulis namanya dan deskripsinya dalam sebuah buku yang kumiliki di perpustakaanku. Hari-hari pun berlalu setelah mimpi itu, sampai suatu hari, ketika Aku sedang berdiri di sebuah toko, Aku melihat seseorang dengan penampilan yang anggun dan bercahaya mendatangi toko dan duduk di sebuah kursi. Ketika Aku melihatnya, Aku ingat mimpi itu dan apa yang terjadi di dalamnya. Dengan segera Aku menghampirinya dan bertanya kepadanya apakah beliau berkenan mengunjungi rumahku dan tinggal bersamaku. Beliau menerimanya dan mulai berjalan di depanku sementara itu Aku mengikutinya. Aku malu untuk berjalan di depannya, bahkan untuk menunjukkan jalan menuju rumahku. Beliau tidak menoleh sekali pun kepadaku, tetapi langsung mengambil jalan menuju rumahku. Aku baru saja ingin mengatakan, ?Inilah rumahku?, ketika beliau berkata, ?Ini rumahmu.? Beliau berjalan ke dalam dan langsung menuju ruangan istimewaku. Beliau berkata, ?Ini kamarmu.? Beliau pergi ke lemari dan mengambil sebuah buku di antara ratusan buku. Beliau memberikan buku itu dan bertanya padaku, ?Apa yang engkau tulis di sini?? Apa yang telah kutulis adalah apa yang kulihat dalam mimpi. Dengan segera suatu keadaan tidak sadar menguasaiku dan Aku merasa pusing dengan cahaya yang masuk ke dalam hatiku. Ketika Aku bangun, Aku bertanya kepadanya apakah beliau akan menerimanya. Beliau adalah Syah Baha’uddin Naqsyband k.
Syaikh Muhammad Zahid k berkata,
Di awal perjalananku dalam Thariqat ini, Aku duduk di sampingnya suatu hari di musim semi. Sebuah keinginan akan semangka masuk ke dalam hatiku. Beliau melihatku dan berkata, ?Muhammad Zahid k, pergilah ke sungai di dekat kita itu dan bawakan kepada kita apa yang engkau lihat dan kita akan memakannya.? Dengan segera Aku pergi ke sungai itu. Airnya sangat dingin. Aku menyelam ke dalamnya dan menemukan sebuah semangka di bawah air, sangat segar, seolah-olah baru saja dipotong dari dahannya. Aku sangat bergembira dan Aku mengambilnya dan berkata, ?Wahai Syaikhku terimalah aku.??
Salah satu muridnya melaporkan hal berikut mengenai kunjungannya menemui beliau.
Sebelum kunjungan itu beliau menanyakan Syaikh Syadi, salah seorang murid senior, untuk menasihatinya, ?Beliau berkata kepadaku, ?Wahai saudaraku, bila engkau pergi mengunjungi Syaikh atau ketika engkau duduk di tengah kehadiran Syaikh, berhati-hatilah agar jangan meletakkan kakimu sedemikian rupa sehingga kakimu menghadap ke arahnya.? Segera setelah Aku meninggalkan Ghaziut dalam perjalananku ke Qasr al-’Arifan, Aku menemukan sebuah pohon dan berbaring di bawahnya dengan kaki berselonjor. Sayangnya seekor binatang datang dan menggigit kakiku. Kemudian aku tertidur lagi dengan rasa nyeri, dan ketika aku tertidur seekor binatang menggigitku lagi. Tiba-tiba aku sadar bahwa Aku telah membuat suatu kesalahan besar, Aku telah menghadapkan kakiku ke arah Syaikhku. Dengan segera Aku bertaubat dan binatang yang menggigitku itu pun pergi.
Suatu saat beliau didesak untuk memperlihatkan kekuatan ajaibnya untuk mempertahankan salah satu penerusnya di Bukhara, Syaikh Muhammad Parsa k. Hal ini terjadi ketika Syaikh Muhammad Syamsuddin al-Jazari datang ke Samarkand, di masa Raja Mirza Aleg Beg, untuk menentukan pembenaran atas mata rantai transmisi dalam Narasi Hadits. Beberapa ulama korup yang iri mengeluh bahwa Syaikh Muhammad Parsa k telah memberikan narasi-narasi hadits yang rantai transmisinya tidak dikenal. Mereka berkata kepada Syamsuddin, ?Jika engkau mencoba memperbaiki masalah itu, Allah I akan memberimu pahala yang besar.? Syaikh Muhammad Syamsuddin meminta Sultan untuk memerintahkan Syaikh Muhammad Parsa k agar muncul. Syaikh ul-Islam di Bukhara, Husamuddin an-Nahawi, berada di sana, bersama dengan sejumlah ulama dan imam dari daerah itu.
Syah Naqsyband k datang bersama Muhammad Parsa k ke pertemuan itu. Lalu Syaikh Husamuddin menanyakan Muhammad Parsa k mengenai sebuah hadits. Muhammad Parsa k menarasikan hadits itu bersama dengan mata rantai transmisinya. Syaikh Muhammad al-Jazari berkata, ?Tidak ada yang salah dalam haditsnya, tetapi mata rantainya tidak benar.? Ketika mendengar ini para ulama yang iri merasa gembira. Mereka meminta Muhammad Parsa k memberi mata rantai yang lain untuk hadits tersebut. Beliau melakukannya, tetapi tetap saja dikatakan bahwa itu tidak benar. Mereka meminta mata rantai yang lain, beliau memberikannya dan tetap saja mereka menemukan kesalahan di dalamnya.
Syah Naqsyband k turun tangan, karena beliau tahu bahwa apa pun mata rantai yang diberikan, mereka akan mengatakan bahwa itu salah. Beliau memberi inspirasi kepada Muhammad Parsa k untuk bertanya langsung kepada Syaikh Husamuddin dan berkata kepadanya, ?Engkau adalah Syaikh ul-Islam dan seorang mufti. Dari apa yang telah engkau pelajari mengenai pengetahuan eksternal dan syari?ah serta pengetahuan mengenai hadits, apa yang engkau katakan mengenai narator-narator tersebut?? Syaikh Husamuddin berkata, ?Kami menerima orang itu dan kami mendasarkan banyak pengetahuan mengenai hadits pada narasi mereka, dan buku-buku mereka kami terima, dan silsilahnya diterima oleh semua ulama, dan tidak ada beda pendapat mengenai hal itu.? Muhammad Parsa k berkata, ?Buku orang itu, yang engkau terima ada di rumahmu di perpustakaanmu, di antara buku ini dan ini. Dia terdiri atas 500 halaman dan warnanya adalah ini dan ini, dan sampulnya terlihat seperti ini dan ini, dan hadits yang engkau tolak oleh orang tersebut ada di halaman ini dan ini.?
Syaikh Husamuddin merasa bingung dan keraguan mendatangi hatinya, karena dia tidak ingat pernah melihat buku seperti itu di perpustakaannya. Semua orang terkejut bahwa Syaikh mengetahui buku itu tetapi pemiliknya tidak mengetahuinya. Tidak ada alternatif lain kecuali untuk mengutus seseorang untuk mengecek. Hadits tersebut ditemukan sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Parsa k. Ketika raja mendengar kisah ini, para ulama yang membawa masalah ini dihinakan sementara Syah Naqsyband k dan Muhammad Parsa k mendapat kemuliaan.
Keadaannya ketika Meninggalkan Dunia ini
Syaikh Ali Damman, salah seorang pelayan dari Syaikh berkata, ?Syaikh menyuruhku untuk menggali makamnya. Ketika aku menyelesaikannya, aku bertanya dalam hati, ?Siapa yang akan menjadi penerusnya?? Beliau bangkit dari bantalnya dan berkata kepadaku, ?Oh anakku, jangan melupakan apa yang kukatakan kepadamu ketika kita dalam perjalanan ke Hijaz. Siapa pun yang ingin mengikutiku dia harus mengikuti Syaikh Muhammad Parsa k dan Syaikh Alauddin Attar k.?
Di hari-hari terakhirnya, beliau tinggal di kamarnya. Orang-orang berziarah mengunjunginya dan beliau memberi nasihat kepada mereka. Ketika beliau memasuki sakitnya yang terakhir beliau mengunci dirinya di dalam kamar. Bergelombang-gelombang pengikutnya mulai berdatangan mengunjunginya dan beliau masing-masing memberi nasihat yang mereka butuhkan. Pada suatu saat beliau memerintahkan mereka membaca surat Yaa Sin. Kemudian ketika mereka menyelesaikannya, beliau berdo?a kepada Allah I lalu mengangkat jari telunjuk kanannya untuk mengucapkan syahadat. Segera setelah beliau mengucapkannya, jiwanya kembali kepada Allah I.
Beliau meninggal pada hari Minggu malam, 3 Rabi’ul-Awwal, 791 H (1388 M). beliau dimakamkan di halaman rumahnya sebagaimana permintaan beliau. Penerus Raja Bukhara menjaga madrasah dan masjidnya, memperluas dan meningkatkan waqafnya.
Abdul Wahhab asy-Sya’arani k, seorang Kutub Spiritual di masanya mengatakan, ?Ketika Syaikh dikuburkan di makamnya, sebuah pintu surga terbuka baginya, menjadikan makamnya sebagai taman dari Surga. 2 makhluk spiritual yang indah mendatanginya dan memberinya salam dan berkata kepadanya, ?Sejak Allah I menciptakan kami sampai sekarang, kami telah menunggu saat ini untuk melayani engkau.? Beliau berkta kepada kedua makhluk spiritual ini, ?Aku tidak berpaling kepada yang lainnya kecuali kepada-Nya. Aku tidak membutuhkan kalian tetapi Aku membutuhkan Tuhanku.?
Syah Naqsyband k meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat di antara mereka adalah Syaikh Muhammad bin Muhammad Alauddin al-Khwarazmi al-Bukhari al-Attar k dan Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud al-Hafizi k, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa k, penulis Risala Qudsiyya. Kepada yang pertamalah Syah Naqsyband k meneruskan rahasia dari Mata Rantai Emas.
Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ''Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid.''
Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari 'khwaja' atau 'khoja' dalam bahasa Persia berarti para kiai agung). Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulal, agar mendidik Bahauddin meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!"
Bahauddin pun berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru.
Bahauddin juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di hadapan Sayyid Amir Kulal, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, "Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!"
Di bawah asuhan Amir Kulal, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu, Bahauddin mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan, yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu, Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulullah SAW.
Di bawah bimbingan Amir Kulal pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulal memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap habis, Sayyid Amir Kulal memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya menunjuk ke puting dadanya dan berkata, "Semua yang ada di sumber ini sudah habis kamu sedot, maka mengembaralah!"
Bahauddin kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai "Naqshaband" (bahasa Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan Indonesia.
Adanya Tarekat Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Eropa dan Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang--sesuai namanya--merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia.
Shah Naqshaband muncul untuk merevitalisasi perilaku beragama dengan mengajak kembali kepada tradisi yang hidup pada zaman Nabi SAW. Bagi Shah Naqshaband, hakikat sebuah tarekat adalah penerapan ajaran syariat dalam wujud yang paling sempurna dan konsisten. Sementara itu, hakikat adalah terealisasikannya "maqam kehambaan" seorang anak manusia di hadapan Allah semata.
Shah Naqshaband menyatakan bahwa tasawuf adalah inti agama dan inti terdalam dari tasawuf itu sendiri adalah muraqabah, musyahadah, dan muhasabah. Muraqabah adalah melupakan segala sesuatu yang selain Allah dengan hanya memfokuskan hati dan perbuatan hanya kepada-Nya.
Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah dalam seluruh eksistensi. Sementara itu, muhasabah adalah instropeksi diri yang terus-menerus agar tidak lalai dari jalan yang mulia ini. Dengan ketiga inti tasawuf itu, hati seorang saleh terus hidup dan dihidupkan oleh zikir dan kebersamaan bersama Allah dalam setiap detak jantung dan embusan napasnya sampai dia tertidur sekalipun!
Agar mencapai maqam tersebut, seorang saleh harus menjalani pelatihan di bawah bimbingan seorang mahaguru spiritual. Dialah yang akan mengajarkannya prosesi berzikir dalam hati sesuai dengan firman Allah, "Dan, sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan penuh kesungguhan dan rasa takut (akan tidak diterima amal perbuatanmu), tanpa mengangkat suara pada siang dan sore hari dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah" (QS Al-A`raaf: 205).
Zikir dalam hati dipilih karena silsilah utama tarekat ini bersambung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Metode zikir ini diajari oleh Rasulullah dan berbeda dengan tarekat lain yang semuanya bersambung melalui Ali bin Abi Thalib yang diajari berzikir dengan menggunakan suara jelas. Zikir dalam hati adalah ibadah yang terbesar (sesuai dengan bunyi tekstual QS Al-`Ankabuut: 45) dan bisa dilaksanakan dalam keadaan apa pun.
Zikir dalam hati yang dilakukan oleh seorang Naqsyabandi menggunakan Lafdzul Jalalah (Allah) dan Laa Ilaaha illalLaah yang dilafalkan dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan langsung oleh seorang mahaguru sufi (syekh). Dengan prosesi zikir ini, seorang Naqshabandi meniti tangga-tangga makrifat.
Shah Naqshaband pernah menyatakan bahwa shalat adalah titian spiritual yang paling efektif bagi seorang saleh asalkan shalatnya khusyuk. Untuk mewujudkannya, seorang saleh diharuskan mengonsumsi makanan yang halal baginya dan tidak pernah lalai mengingat atau "bersama" dengan Allah dalam kesehariannya, lebih khusus lagi saat berwudhu serta bertakbiratul ihram.
Di sisi lain, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah sebuah perilaku sosial yang positif. Bukan sekadar berbudi pekerti yang luhur, melainkan juga berbuat kebajikan kepada sesama makhluk Allah. Seorang saleh tidak boleh merasa dirinya lebih mulia dari seekor anjing sekalipun. Dia juga selalu siap mengulurkan tangan kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan, bantuan tersebut bukan sekadar diberikan dalam bentuk material semata, tetapi juga rohaniah dan spiritual.
Selain itu, bertasawuf juga berarti menghormati waktu. Shah Naqshaband pernah menegaskannya dalam bahasa Persia, "Orang yang berakal pasti tidak suka berkawan dengan seorang yang suka menunda-nunda pekerjaan jika mampu dilakukannya hari ini." Waktu harus digunakan untuk ibadah dalam pengertiannya yang paling komprehensif: berbuat kebajikan, baik yang ritual maupun yang sosial. Dan, tidak boleh ada waktu yang berlalu sedetik pun tanpa yakin bahwa kita selalu "mengingat" dan "bersama" Allah.
Dengan demikian, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah mewujudkan ketundukan penuh kepada Nabi Muhammad SAW secara paripurna: menjalankan perintahnya, menghindari larangannya, meneladani perbuatannya, dan menghayati spiritualitasnya, sesuai dengan ajaran Islam menurut mazhab ahlussunnah wal jamaah.
Tidak heran kalau banyak ulama yang mengakui bahwa Tarekat Naqshabandiyah adalah saripati semua tarekat sufi. Dan, barang siapa yang suluknya tidak sesuai dengan ajaran Shah Naqshaband di atas berarti sudah keluar dari jalur yang benar meskipun mengaku sebagai pengikut beliau. Shah Naqshaband pernah menegaskan, "Tasawuf adalah syariat. Dan, barang siapa yang mengaku sebagai pengikut tasawuf, tetapi tidak menerapkan syariat, berarti dia telah tersesat!"
Kidung subuh sang merpati hutan, haru sendu membirukanSyah Naqsybandq.s. adalah Samudra Ilmu yang tak bertepi. Ombaknya dianyam oleh mutiara Ilmu Ilahi. Beliau menjernihkan kemanusiaan dengan Samudra Kemurnian dan Kesalehan. Beliau melepaskan dahaga jiwa dengan air yang berasal dari dukungan spiritualnya. Seisi dunia, termasuk samudra dan benua, berada dalam genggamannya. Beliau adalah bintang yang berhiaskan Mahkota Petunjuk. Beliau mensucikan seluruh jiwa manusia tanpa kecuali dengan nafas sucinya. Beliau menghiasi bahkan setiap sudut yang sulit terjangkau dengan rahasia dari Muhammadun Rasulullahsaw.. Cahayanya menembus setiap lapisan ketidakpedulian. Keluarbiasaannya melahirkan bukti terhempasnya asa tertepis dari keraguan hati kemanusiaan. Keajaibannya yang penuh kekuatan membawa kehidupan kembali ke dalam hati setelah kematiannya dan menyiapkan jiwa-jiwa dengan perbekalan mereka bagi kehidupan spiritual di masa mendatang. Beliau terpelihara di Maqam Busur Perantara tatkala beliau masih dalam buaian. Beliau menghisap nektar ilmu ghaib secara terus-menerus dari Cangkir Makrifat (Realitas). Jika Muhammadsaw. bukanlah Rasul yang terakhir, mungkin beliau akan menjadi Rasul. Segala Puji bagi Allahswt. yang telah mengirimkan seorang mujaddid (yang menghidupkan agama Islam). Beliau mengangkat hati manusia, menyebabkan mereka mengangkasa ke langit spiritual. Beliau membuat raja-raja berdiri di pintunya. Beliau menyebarkan petunjuknya dari Utara hingga Selatan, dan dari Timur hingga ke Barat. Beliau tidak meninggalkan seorang pun tanpa dukungan surgawi, termasuk binatang-binatang liar di rimba raya. Beliau adalah Ghawts teragung, Busur Perantara, Sultannya para Awliya, Kalung bagi seluruh mutiara spiritual yang dipersembahkan di alam semesta ini oleh Hadirat Ilahi. Dengan cahaya petunjuknya, Allahswt. membuat yang baik menjadi yang terbaik, dan mengubah yang jahat menjadi baik.
Air mataku membangunkan lelapnya, tidurku pun tergugah tangisnya
Tak saling kami mengerti, tatkala saling mengeluhkan
Tetapi ku tahu duka hatinya dan dukaku pun telah dipahaminya
Abul-Hasan an-Nuri
Beliau adalah Guru dari tarekat ini dan syekh dari Mata Rantai Emas serta merupakan pembawa alur Khwajagan yang terbaik.
Beliau dilahirkan di bulan Muharram pada tahun 717 H/1317 M, di desa Qasr al-`Arifan, dekat Bukhara. Allahswt. menganugerahkannya kekuatan-kekuatan ajaib di masa kecilnya. Beliau telah diajari rahasia tarekat ini oleh guru pertamanya, Sayyid Muhammad Baba As-Samasiq.s. Kemudian beliau diberikan rahasia dan kemampuan dari tarekat ini oleh Syaikhnya, Sayyid Amir al-Kulalq.s. Beliau juga merupakan Uwaysi dalam hubungannya dengan Rasulullahsaw., karena beliau dibesarkan dalam hadirat spiritual Abdul Khaliq al-Ghujdawaniq.s., yang telah mendahuluinya selama 200tahun.
Awal Mula dari Bimbingannya dan Bimbingan dari Awal Mulanya
Syah Naqsybandq.s. berumur delapan belas tahun ketika beliau dikirim kakeknya ke kampung Samas untuk melayani syekh tarekat, Muhammad Baba as-Samasiq.s., yang telah memintanya. Dari awal persahabatannya dengan syekh tersebut, beliau melihat anugerah yang tak terhitung di dalam dirinya, dan kebutuhan yang amat sangat akan kesucian dan ibadah. Dari masa mudanya, beliau bercerita,Aku akan bangun lebih awal, tiga jam sebelum shalat Fajar, berwudhu, dan setelah melaksanakan shalat sunnah, aku akan bersujud, memohon pada Tuhan dengan doa berikut, Wahai Tuhanku, berilah hamba kekuatan untuk menjalankan kesulitan-kesulitan dan rasa sakit dari cinta-Mu. Lalu aku akan shalat Fajar bersama dengan syekh.
Ketika beliau keluar, suatu hari beliau melihat ke arahku dan berkata, seolah-olah beliau telah bersamaku ketika aku berdoa tadi, Wahai anakku, kau harus mengubah cara berdoamu. Daripada berkata, &lquot;Ya Allahswt! Anugerahkanlah ridha-Mu pada hamba yang lemah ini.&rquot; Tuhan tidak senang hamba-Nya berada dalam kesulitan. Walau Tuhan dalam kearifan-Nya mungkin memberikan kesulitan pada hamba-Nya untuk mengujinya, sang hamba tak boleh meminta untuk berada dalam kesulitan. Hal ini berarti tidak menghormati Tuhanmu.
Ketika Syekh Muhammad Baba as-Samasiq.s. wafat, kakekku membawaku ke Bukhara dan aku menikah di sana. Aku tinggal di Qasr al-?Arifan, yang merupakan pemeliharaan yang khusus dari Allahswt. bagiku, karena aku menjadi dekat dengan Sayyid Amir Kulalq.s. Aku tinggal dan melayaninya, dan beliau mengatakan padaku bahwa Syekh Muhammad Baba as-Samasiq.s. telah berkata jauh hari sebelumnya bahwa Aku tak akan senang denganmu bila engkau tidak memeliharanya dengan baik.
Suatu hari, Aku duduk bersama seorang teman, dalam pengasingan (khalwat), tiba-tiba langit terbuka dan suatu pemandangan yang agung datang padaku dan Aku mendengar sebuah suara yang berkata, Tidakkah cukup bagimu meninggalkan setiap orang dan datang ke Hadirat Kami sendirian saja? Suara ini membuatku gemetar dan lari dari rumah itu. Aku berlari ke sebuah sungai di mana aku lalu menyeburkan diri. Aku mencuci pakaianku lalu shalat dua rakaat dengan cara yang belum pernah aku lakukan sebelumnya, aku merasa seolah-olah sedang shalat dalam Hadirat-Nya. Segalanya begitu terbuka ke dalam hatiku dalam bentuk tanpa sekat (kasyf). Seluruh semesta lenyap dan aku tak menghiraukan segala hal kecuali berdoa ke Hadirat-Nya.
Di awal keadaan ketertarikanku, Aku pernah ditanya, Mengapa engkau ingin memasuki jalan ini? Aku menjawab, Agar segala yang aku katakan dan aku kehendaki akan terjadi. Aku dijawab, Itu mustahil. Segala yang Kami katakan dan segala yang Kami kehendaki, itulah yang akan terjadi. Dan aku berkata, Aku tak bisa melakukan hal itu. Aku harus diizinkan untuk berkata dan untuk melakukan segala yang aku suka, atau, aku tak menginginkan jalan ini.? Lalu aku menerima jawabannya, Tidak bisa. Segala yang Kami kehendaki untuk dikatakan dan apapun yang Kami kehendaki untuk terjadi pastilah terucapkan dan terjadi. Lalu Aku berkata lagi, Segala yang aku katakan dan segala yang aku kerjakan itulah yang pasti terjadi. Kemudian aku pun ditinggalkan sendirian selama lima belas hari, hingga aku menderita depresi yang luar biasa. Kemudian aku mendengar sebuah suara, Wahai Baha-uddin, segala yang kau inginkan, akan Kami kabulkan. Aku amat bergembira. Aku berkata, Aku ingin diberi sebuah tarekat yang akan memimpin semua orang yang berjalan di atasnya akan langsung menuju ke Hadirat Ilahi. Dan Aku melihat suatu pemandangan yang agung dan sebuah suara berkata, Yang kau minta telah dikabulkan.
Kemajuan dan Perjuangannya dalam Tarekat
Syah Naqsyband k menyatakan,Suatu saat Aku sedang mengalami ekstase dan tanpa akal pikiran (tidak sadar), berpindah dari sini ke sana, tak menyadari apa yang tengah kulakukan. Kakiku robek dan berdarah karena duri pada saat gelap. Aku merasa diriku ditarik ke rumah Syaikhku, Sayyid Amir Kulal k. Saat itu malam sungguh gelap tanpa bulan dan bintang. Udara amat dingin dan Aku tak memiliki apapun kecuali sebuat jubah kulit yang sudah usang. Ketika Aku tiba di rumahnya, Aku menemukan beliau sedang duduk bersama para sahabatnya. Ketika beliau melihatku, beliau berkata kepada para pengikutnya, ?Bawa dia keluar, Aku tak menginginkan dia berada di rumahku.? Mereka lalu mengeluarkan aku dan Aku merasakan ego berusaha menguasaiku, mencoba meracuni kepercayaanku kepada Syaikhku. Pada saat itu hanya Perlindungan Allah I dan Rahmat-Nya-lah satu-satunya pendukungku dalam menerima penghinaan ini Demi Allah I dan Demi Syaikhku. Lalu Aku berkata pada egoku, ?Aku tak memperkenankanmu untuk meracuni kepercayaanku terhadap Syaikhku.? Aku begitu lelah dan tertekan sehingga Aku merendahkan hati di depan pintu kesombongan, meletakkan kepalaku di bawah pintu rumah guruku, dan bersumpah dengan Nama Allah I bahwa Aku tak akan pindah sampai beliau menerimaku kembali. Salju mulai turun dan udara yang begitu dingin menembus tulangku, membuatku gemetar dalam gelapnya malam. Bahkan cahaya rembulan pun tak ada untuk sedikit membuatku merasa nyaman. Aku ingat keadaan tersebut, hingga Aku membeku. Namun cinta akan pintu Ilahi Syaikhku yang ada dalam hatiku, membuatku tetap hangat. Subuh pun datang dan Syaikhku keluar dari pintu tanpa melihatku secara fisik. Beliau menginjak kepalaku, yang masih berada di bawah pintunya. Merasakan adanya kepalaku, dengan segera beliau menarik kakinya, membawaku ke dalam rumahnya dan berkata kepadaku, ?Wahai anakku, kau telah dihiasi dengan pakaian kebahagiaan. Kau telah dihiasi dengan pakaian Cinta Ilahi. Kau telah dihiasi dengan pakaian yang tidak pernah Aku dan Syaikhku kenakan. Allah I senang denganmu, Rasulullah e senang denganmu, semua Syaikh dari Matarantai Emas senang denganmu.? Kemudian dengan telaten dan sangat hati-hati beliau mencabuti duri-duri dari kakiku dan membasuh lukaku. Pada saat yang sama beliau menuangkan ilmu pada hatiku yang tak pernah Aku alami sebelumnya. Hal ini membukakan suatu pandangan di mana Aku melihat diriku memasuki rahasia Muhammadun Rasul-Allah e. Aku melihat diriku memasuki rahasia ayat yang merupakan Haqiqa Muhammadiyya (Realitas Muhammad e). Hal ini mengantarkan aku untuk memasuki rahasia dari LA ILAHA ILLALLAH yang merupakan rahasia dari wahdaniyyah (Keunikan Allah I). Hal ini lalu mengantar aku untuk memasuki rahasia Asma? Allah I dan Atribut-Nya yang dinyatakan dengan rahasia ahadiyya (Ke-Esa-an Allah I). Keadaan-keadaan tersebut tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, hanya dapat diketahui lewat rasa di dalam hati.
Di awal perjalananku di thariqat ini, Aku biasa berkeliaran di malam hari dari satu tempat ke tempat lainnya di pinggiran kota Bukhara. Sendirian di gelapnya malam, khususnya di musim dingin, Aku mengunjungi pemakaman untuk memetik pelajaran dari yang telah meninggal. Suatu malam Aku dibimbing untuk mengunjungi nisan Syaikh Ahmad al-Ajgharawa k dan membacakan al-Fatihah baginya. Ketika Aku tiba, Aku menemukan dua orang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Mereka menungguku dengan seekor kuda. Mereka menaikkan aku ke atas kuda dan mengikatkan dua bilah pedang di sabukku. Mereka mengarahkan kudanya ke nisan Syaikh Mazdakhin k. Ketika kami tiba, kami semua turun dan memasuki makam dan masjid Syaikh tersebut. Aku duduk menghadap qiblat, tafakur, dan menghubungkan hatiku dengan hati Syaikh itu. Selama proses meditasi tersebut sebuah pandangan terbuka padaku dan Aku melihat dinding yang menghadap qiblat tiba-tiba runtuh. Sebuah singgasana raksasa muncul. Seseorang yang tinggi besar dan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata sedang duduk di singgasana itu. Aku merasa mengenalnya. Kemanapun Aku palingkan wajah di semesta ini yang kulihat adalah orang itu. Di sekelilingnya terdapat kerumunan besar yang terdiri dari Syaikh-Syaikhku, Syaikh Muhammad Baba as-Samasi k dan Sayyid Amir Kulal k. Kemudian Aku merasa takut dengan orang yang tinggi besar itu sementara pada saat yang bersamaan Aku juga merasakan cinta terhadapnya. Aku memiliki ketakutan akan kehadirannya yang makin membesar dan cinta kasih akan kecantikan dan pengaruhnya. Aku berkata pada diriku sendiri, ?Siapa gerangan manusia agung ini?? Aku mendengar sebuah suara di antara orang-orang di kerumunan itu berkata, ?Orang agung yang membesarkanmu di jalan spiritualmu ini adalah Syaikhmu. Dia melihat jiwamu manakala masih berupa atom di Hadirat Ilahi. Kau telah berada dalam pelatihannya selama ini. Dialah Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani k dan kerumunan yang sedang kau lihat itu adalah khalifah yang membawa rahasia agungnya, rahasia Matarantai Emas.? Kemudian Syaikh tersebut mulai menunjuk kepada masing-masing Syaikh seraya berkata, ?Yang ini Syaikh Ahmad k, ini Kabir al-Awliya k, ini ?Arif Riwakri k, ini Syaikh Ali Ramitani k, yang ini Syaikhmu, Muhammad Baba as-Samasi k, yang semasa hidupnya memberikan jubahnya untukmu. Apakah kau mengenalnya?? ?Ya?, kataku.
Kemudian beliau berkata kepadaku, ?Jubah itu, yang dia berikan kepadamu beberapa saat silam sekarang masih ada di rumahmu, dan dengan berkah Allah I telah menyembuhkan banyak penderitaan dalam hidupmu.? Lalu suara lain datang dan berkata, Syaikh yang berada di singgasana itu akan mengajarimu sesuatu yang kau perlukan selama berjalan lewat jalan ini.? Aku bertanya apakah mereka akan mengizinkan Aku untuk bersalaman dengannya. Mereka mengizinkannya dan membuka hijab-nya (sekat) dan Aku pun mengambil tangannya. Kemudian beliau mulai menceritakan tentang suluk (perjalanan), awal, pertengahan dan akhirnya. Beliau berkata, ?Kau harus membenahi sumbu yang ada dalam dirimu sehingga cahaya dari yang tak terlihat dapat dikuatkan dalam dirimu dan rahasia-rahasianya dapat terlihat. Kau harus memperlihatkan ketetapanmu dan kau harus kukuh dalam syari?ah Rasulullah e dalam setiap keadaanmu. Kau harus ?menyuruh kepada yang ma?ruf dan mencegah kepada yang munkar? (QS 3:110, 114) dan tetap pada standar tertinggi dari syari?ah dan meninggalkan kemudahan-kemudahan, dan menyingkirkan penemuan baru dalam segala bentuknya (bid?ah), dan buatlah al-Hadits sebagai qiblatmu. Kau harus menyelidiki kehidupannya (sirah) dan sirah para sahabatnya, dan membuat orang untuk mengikuti dan membaca al-Quran baik siang maupun malam, serta melaksanakan shalat dengan segala ibadah tambahannya (nawafil). Jangan abaikan hal sekecil apapun dari kebaikan dan perbuatan-perbuatan mulia yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah e.?
Begitu Abdul Khaliq k selesai, khalifahnya berkata padaku, ?Agar yakin akan kebenaran pandangan ini, beliau mengirimkan suatu tanda begimu. Besok, pergi dan kunjungilah Maulana Syamsuddun al-Ambikuti k, yang akan menghakimi dua orang. Katakan padanya bahwa si Turkilah yang benar dan si Saqqa-lah yang salah. Katakan padanya, ?Kau mencoba membantu si Saqqa, namun kau salah. Perbaikilah dirimu dan bantulah si Turki.? Bila si Saqqa menyangkal apa yang kau katakan, dan si hakim terus membela si Saqqa, katakan padanya, ?Aku memiliki dua bukti. Yang pertama harus bilang pada si Saqqa, ?Wahai Saqqa, engkau sedang dahaga.? Dia akan mengerti apa arti dahaga itu. Sebagai bukti kedua, kau harus bilang kepada si Saqqa, ?Kau telah meniduri seorang wanita dan dia menjadi hamil, dan kau telah memiliki bayi yang telah digugurkan, dan kau kuburkan bayi itu di bawah pohon pinus.? Dalam perjalananmu menuju Maulana Syamsuddin k, bawalah tiga butir kismis dan lewati Syaikhmu, Sayyid Amir al-Kulal k. Dalam perjalananmu menuju beliau kau akan bertemu dengan seorang Syaikh yang akan memberimu sebantal roti. Ambillah rotinya dan jangan bicara sepatah kata pun dengan Syaikh tersebut. Lanjutkan hingga kau menemukan sebuah karavan. Seorang petarung akan mendekatimu. Nasihati dan dekati dia kembali. Dia akan menyesal dan akan menjadi salah seorang pengikutmu. Kenakanlah topimu dan bawa jubah Azizan kepada Sayyid Amir Kulal k.?
Setelah itu mereka memindahkan aku dan pandangan itu pun berakhir. Aku kembali pada diriku sendiri. Hari berikutnya Aku pulang ke rumahku dan bertanya kepada keluargaku tentang jubah yang telah disebutkan dalam pandangan itu. Mereka membawanya ke hadapanku dan berkata, ?Ini telah ada di sana sejak lama sekali.? Ketika Aku melihat jubah itu keharuan yang mendalam melandaku. Aku mengambil jubah itu dan pergi ke desa Ambikata, di pinggiran Bukhara, menuju masjid Maulana Syamsuddin k. Aku shalat Fajar bersamanya dan kemudian Aku menyampaikan tanda yang sangat membuatnya terkejut. Si Saqqa itu ada dan dia menyangkal bahwa si Turki itu yang benar. Lalu Aku menyampaikan bukti-bukti itu kepada beliau. Dia menerima yang pertama namun menyangkal yang kedua. Lalu Aku mengajak orang-orang yang berada di masjid itu untuk pergi ke pohon pinus yang ada di dekat masjid. Mereka menurut dan menemukan seorang anak yang terkubur di sana. Si Saqqa lalu datang dan menangis serta memohon maaf atas apa yang telah dia perbuat, namun semuanya telah berakhir. Maulana Syamsuddin k dan orang lain yang berada di masjid itu benar-benar terkejut.
Aku bersiap untuk melakukan perjalanan keesokan harinya ke kota Naskh dan telah memegang ketiga kismis kering. Maulana Syamsuddin k mencoba menahanku dengan berkata, ?Aku sedang melihat dalam dirimu ada penyakit karena merindukan kami dan hasrat yang membara untuk menggapai Ilahi. Penyembuhmu berada di tangan kami.? Aku menjawabnya, ?Wahai Syaikhku, Aku adalah anak dari orang lain dan Aku adalah pengikutnya. Bahkan bila kau tawarkan untuk merawatku dengan susu dari maqam yang lebih tinggi, Aku tak dapat menerimanya, kecuali dari seseorang yang kepadanya Aku berikan hidupku dan daripadanya Aku mengambil bay?at.? Kemudian beliau terdiam dan mengizinkan aku untuk melanjutkan perjalanan. Aku bergerak seperti yang telah diperintahkan hingga Aku bertemu dengan Syaikh itu dan dia memberiku sebantal roti. Aku tidak bicara dengannya. Aku mengambil rotinya seperti yang telah diperintahkan. Kemudian Aku menemukan sebuah karavan. Mereka bertanya dari mana Aku berasal. Aku bilang, ?Ambikata!? Mereka bertanya kapan Aku berangkat. Aku bilang, ?Pada saat matahari terbit.? Mereka terkejut dan berkata, ?Desa itu bermil-mil jauhnya dan akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menempuh jarak itu. Kami meninggalkan desa itu tadi malam dan kau di saat matahari terbit, namun kau telah menyusul kami.? Aku melanjutkan (perjalanan) hingga Aku bertemu dengan seorang tukang kuda. Dia menyapaku, ?Siapa kau?? Aku takut kepadamu!? Aku bilang, ?Di tangankulah kau akan bertobat.? Dia lalu turun dari kudanya, menunjukkan seluruh kerendahannya di hadapanku dan bertobat dan melemparkan seluruh botol anggur yang dibawanya. Dia menemaniku menemui Syaikhku, Sayyid Amir Kulal k. Ketika Aku menemuinya, Aku menyerahkan jubah kepadanya.
Beliau terdiam untuk beberapa saat dan kemudian beliau berkata, ?Ini adalah jubah Azizan. Aku diberi tahu tadi malam bahwa kau akan membawanya kepadaku, dan Aku telah diperintahkan untuk menyimpannya dalam sepuluh lapisan penutup.? Lalu beliau menyuruhku untuk memasuki ruangan pribadinya. Beliau mengajariku dan menempatkan dzikir khafa di dalam hatiku. Beliau memerintahkan Aku untuk memelihara dzikir itu siang dan malam. Sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Syaikh ?Abdul Khaliq al-Ghujdawani k dalam pandangan itu untuk berketetapan pada cara yang sulit, maka Aku memelihara dzikir khafa yang merupakan bentuk dzikir tertinggi. Sebagai tambahan, Aku biasa menghadiri kumpulan murid-murid luar untuk belajar ilmu syari?ah dan al-Hadits, dan belajar mengenai sifat-sifat Rasulullah e dan para Sahabatnya. Aku melakukannya karena pandangan itu menyuruhku demikian, dan hal ini menyebabkan perubahan besar dalam kehidupanku. Semua yang diajarkan Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani k dalam pandangan itu melahirkan buah yang diberkahi dalam kehidupanku. Ruhnya selalu menemani dan mengajariku.
Tentang Dzikir Zahar dan Dzikir Khafa
Disebutkan dalam Kitab al-Bahjat as-Saniyya bahwa dari masa Mahmud al-Faghnawi k hingga masa Sayyid Amir al-Kulal k mereka terbiasa melakukan dzikir zahar (dengan suara keras) pada saat berkumpul dan dzikir khafa (dalam hati) bila sedang menyendiri. Namun ketika Syah Baha?uddin Naqsyband k menerima rahasianya, beliau hanya menjalankan dzikir khafa. Walaupun pada saat berasosiasi dengan Sayyid Amir Kulal k, bila mereka mulai berdzikir zahar, beliau biasanya beranjak dan pergi ke kamarnya untuk mengerjakan dzikir khafa. Hal ini membuat beberapa murid agak kecewa, meski Syaikhnya melakukan dzikir zahar, beliau tetap melakukan dzikir khafa. Namun beliau tetap melayani Syaikhnya sepanjang usianya.Suatu hari, saat Syah Baha?uddin k dan semua pengikut Sayyid Amir Kulal k sedang beristirahat dari pekerjaan membangun sebuah masjid yang baru, Sayyid Amir Kulal k berkata, ?Barang siapa yang memiliki prasangka buruk tentang anakku Baha?uddin k, dia adalah salah. Allah I telah menganugerahinya suatu rahasia yang belum pernah diberikan kepada siapapun sebelumnya. Bahkan Aku pun tak mampu untuk mengetahuinya.? Beliau lalu berkata padanya,
Wahai anakku, Aku telah memenuhi wasiat dan nasihat Syaikh Muhammad Baba as-Samasi k ketika beliau menyuruhku untuk membesarkanmu dan merawatmu dalam jalan latihanku hingga engkau menjadi lebih baik daripadaku. Hal ini telah kukerjakan, dan engkau telah memiliki kapasitas untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi dan tinggi lagi. Jadi, anakku tercinta, saat ini Aku sepenuhnya mengizinkan engkau untuk pergi ke mana pun yang engkau kehendaki dan untuk mendapatkan ilmu dari siapa pun yang engkau temui.
Tentang Syaikh-Syaikh Berikutnya
Suatu saat Aku mengikuti Maulana ?Arif ad-Dik Karrani k selama tujuh tahun. Kemudian Aku mengikuti Maulana Kuthum Syaikh k selama beberapa tahun lamanya. Suatu malam Aku tertidur di hadapan Syaikhku dan Aku menemui Syaikh al-Hakim ?Attar k, salah seorang Syaikh yang termasyhur dari Turki, menyampaikan sesuatu kepada seorang darwis yang bernama Khalil Ghirani k. Ketika Aku terbangun, gambaran darwis itu masih melekat di benakku. Aku mempunyai seorang nenek yang solehah, kepadanyalah Aku menyampaikan mimpiku itu. Nenekku berkata, ?Wahai anakku, engkau akan mengikuti banyak Syaikh berkebangsaan Turki.? Jadi dalam perjalananku, Aku menyinggahi Syaikh-Syaikh dari Turki dan Aku tak pernah melupakan gambaran darwis yang satu itu. Lalu suatu hari di kampung halamanku sendiri di Bukhara, Aku melihat seorang darwis dan Aku mengenalinya sebagai orang yang Aku temui dalam mimpi itu. Aku menanyakan namanya kepada beliau, dan beliau menjawab, ?Aku adalah Kahlil Ghirani k.? Aku harus meninggalkannya, namun begitu berat rasanya. Pada saat Maghrib seseorang mengetuk pintuku. Aku menjawab dan seorang tak dikenal berkata, ?Darwis Kahlil Ghirani k sedang menantimu.? Aku begitu terperanjat. Bagaimana orang itu telah menemukanku? Aku membawa sebuah hadiah, dan pergi bersamanya. Ketika Aku sudah berada di hadapannya, Aku lalu menceritakan mimpi itu. Beliau berkata, ?Tak perlu kau ceritakan mimpi itu karena Aku sudah tahu.? Hal ini lebih melekatkan hatiku kepada beliau. Bersamanya, beberapa pengetahuan ghaib yang baru, dibukakan ke dalam hatiku. Beliau selalu merawatku, memujiku, dan mengangkatku. Penduduk Transoxiana menempatkan beliau sebagai raja mereka. Aku terus menemani beliau, walau dalam masa kesultanannya. Hatiku tumbuh dalam cinta kepada beliau lebih dan lebih lagi dan hatinya telah mengangkatku ke pengetahuan yang lebih tinggi lagi. Beliau mengajariku bagaimana caranya untuk melayani seorang Syaikh. Aku bersamanya selama enam tahun. Baik di hadapannya maupun dalam do?a, Aku selalu menjaga hubungan dengan beliau.Di awal perjalananku di thariqat ini, Aku bertemu dengan seorang Sufi, dan dia berkata, ?Sepertinya kau berasal dari kami? Aku berkata kepadanya, ?Aku berharap kau berasal dari kami dan Aku berharap dapat menjadi temanmu.? Suatu saat dia bertanya padaku, ?Bagaimana kau memperlakukan dirimu sendiri?? Aku menjawab, ?Bila Aku menemukan sesuatu Aku bersyukur kepada Allah I, dan bila tidak, Aku bersabar.? Dia tersenyum dan berkata, ?Itu mudah. Caranya bagimu adalah dengan membebani egomu dan mengujinya. Bila dia kehilangan makanan selama seminggu, kau harus mampu untuk menjaganya agar tetap mematuhimu.? Aku amat berbahagia dengan jawabannya dan Aku meminta dukungannya. Dia menyuruhku untuk membantu yang memerlukan dan untuk melayani yang lemah dan untuk membesarkan hati orang yang putus asa. Dia menyuruhku untuk menjaga kerendahan, ke-tawadhu-an dan tenggang rasa. Aku menjaga perintah-perintahnya dan Aku habiskan berhari-hari dalam hidupku dengan cara seperti itu. Kemudian dia memerintahkan aku untuk merawat binatang, menyembuhkan penyakitnya, membasuh luka-lukanya, dan membantu mereka untuk menemukan persediaan makanan dan minumannya. Aku menjalankannya hingga Aku mencapai suatu keadaan di mana bila Aku bertemu binatang di jalanan, maka Aku akan berhenti, dan memberikan mereka jalan.
Kemudian dia menyuruhku untuk memelihara anjing-anjing melalui Penyatuan Pikiran dengan penuh Kejujuran dan Kerendahan, dan meminta bantuan mereka. Dia mengatakan, ?Karena pelayananmu terhadap salah satu dari mereka, maka engkau akan mencapai kebahagiaan yang sangat.? Aku terima perintah tersebut dengan harapan bahwa Aku akan menemukan satu anjing dan melalui pelayanan terhadapnya, Aku akan menemukan kebahagiaan itu. Suatu hari pikiranku menyatu dengan salah satu dari mereka dan Aku merasakan kebahagiaan yang amat sangat. Aku mulai menangis di hadapannya hingga dia telentang dan menengadahkan kaki depannya ke langit. Aku mendengar sebuah suara yang amat sedih yang berasal darinya lalu Aku pun menengadahkan tangan, berdo?a dan mulai mengatakan ?amin? mendukung do?anya hingga akhirnya dia tak bersuara lagi. Yang kemudian terbuka padaku adalah suatu pandangan yang membawaku pada suatu keadaan di mana Aku merasa menjadi bagian dari setiap manusia dan juga bagian dari setiap makhluk di muka bumi ini.
Setelah Mengenakan Jubah
Suatu hari Aku sedang berada di kebunku di Qasr al-Arifan, mengenakan jubah Azizan dan di sekitarku terdapat para pengikutku. Tiba-tiba Aku merasa terbius dan merasakan Rahmat Surgawi, dan Aku merasa disandangkan dan dihiasi dengan Atribut-Nya. Belum pernah Aku segemetar ini sebelumnya, dan Aku tak kuat lagi berdiri. Aku berdiri menghadap qiblat dan Aku memasuki pandangan agung. Aku melihat diriku melebur (fana?) sepenuhnya dan Aku tak lagi melihat wujud lain melainkan Tuhanku. Lalu Aku melihat diriku keluar dari Hadirat-Nya, memantul lewat cermin Muhammadun Rasul-Allah e, dalam bentuk sebuah bintang di tengah Samudera Cahaya tanpa awal dan akhir. Kehidupan eksternalku berakhir dan Aku hanya melihat makna dari LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASUL-ALLAH e. Ini membawaku kepada makna dari inti sari Nama ?Allah? yang membawaku kepada Yang Maha Ghaib, yakni inti sari dari Asma Huwa (Dia). Ketika Aku memasuki samudera itu, jantungku berhenti berdetak dan seluruh hidupku pun berakhir, mengantarku kepada keadaan kematian. Ruhku meninggalkan jasadku, dan semua yang ada di sekelilingku saat itu berpikir bahwa Aku telah meninggal, dan mereka pun menangis. Kemudian setelah enam jam, Aku diperintahkan untuk kembali kepada jasadku. Aku merasakan ruhku perlahan memasuki jasadku kembali dan pandangan itu pun berakhir.Untuk menyangkal keberadaanmu dan untuk mengacuhkan dan mengabaikan egomu adalah yang berlaku dalam thariqat ini. Dalam keadaan ini Aku memasuki setiap tingkat keberadaan, yang membuatku menjadi bagian dari semua makhluk dan yang mengembangkan keyakinan dalam diriku bahwa setiap orang lebih baik daripada aku sendiri. Aku melihat bahwa setiap orang menyediakan suatu manfaat dan hanya Akulah yang tak memberikannya. Suatu hari sebuah keadaan yang amat mencengangkan terjadi padaku. Aku mendengarkan Suara Ilahi berkata, ?Mintalah apapun yang kau suka dari Kami.? Lalu Aku memohon, ?Ya Allah I, anugerahilah aku dengan setetes dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu.? Dan jawabannya datang, ?Kau hanya meminta setetes dari Ke-Maha Pemurahan Kami?? Hal ini laksana jutaan tamparan keras di wajahku dan sengatannya tersisa di pipiku selama berhari-hari. Kemudian suatu hari Aku berkata, ?Ya, Allah I anugerahilah hamba dari Samudra Rahmat dan Berkah-Mu, Kekuatan untuk membawanya.? Pada saat itu sebuah pengelihatan terbuka padaku di mana Aku didudukkan di atas sebuah singgasana di atas suatu Samudra Rahmat. Dan sebuah suara berkata kepadaku, ?Samudra Rahmat ini adalah untukmu. Berikanlah dia kepada hamba-hamba-Ku.?
Aku menerima rahasia dari berbagai sisi, khususnya dari Uwais al-Qarani y, yang amat mempengaruhi aku untuk meninggalkan hal-hal duniawi dan untuk melekatkan diri hanya pada hal-hal ruhaniah. Aku menjalankannya dengan tetap berpegang teguh pada syari?ah dan perintah Rasulullah e, hingga Aku mulai menyebarkan Pengetahuan Ghaib dan rahasia-rahasia yang dianugerahkan dari Yang Maha Esa yang belum pernah diberikan oleh siapa pun sebelumnya.
Keajaiban dari Perkataan-Perkataannya serta Perkataan-perkataan tentang Keajaibannya.
Tentang Perbedaan Di antara Imam-Imam
Dalam suatu majelis ulama-ulama besar di Baghdad beliau ditanya tentang perbedaan-perbedaan dalam perkataan keempat khalifah Rasulullah e. Beliau berkata,Suatu ketika ash-Shiddiq y berkata, ?Aku tak pernah melihat sesuatu pun, kecuali Allah I berada di depannya,? dan Umar al-Faruq y berkata, ?Aku tak pernah melihat sesuatu pun, melainkan Allah I selalu berada di belakangnya.? Dan Utsman y berkata, ?Aku tidak pernah melihat sesuatu pun, melainkan Allah I berada di sampingnya,? dan ?Ali y berkata, ?Aku tidak pernah melihat sesuatu pun melainkan Allah I berada di dalamnya.? Beliau mengomentari bahwa, perbedaan dalam perkataan-perkataan ini didasarkan pada perbedaan situasi pada saat mereka berkata-kata, dan bukannya perbedaan dalam kepercayaan dan pemahaman.
Tentang Berjalan dalam Jalur ini
Apakah di balik cerita Rasulullah e, ?Sebagian dari iman adalah memindahkan apa-apa yang membahayakan dari Jalan?? Yang Beliau maksud dengan ?yang membahayakan? itu adalah ego, dan yang Beliau maksud dengan ?Jalan? adalah Jalan Menuju Allah I, sebagaimana Dia berfirman kepada Bayazid al-Bistami k, ?Tinggalkan egomu dan datanglah pada Kami.?Suatu ketika beliau ditanya, ?Apa yang dimaksud dengan Berjalan dalam Jalur?? Beliau berkata, ?Detailnya dalam pengetahuan spiritual.? Mereka bertanya, ?Apakah detail dalam pengetahuan spiritual itu?? Beliau menjawab,
Orang yang mengetahui dan menerima apa yang dia ketahui akan diangkat dari keadaan bukti nyata kepada keadaan pengelihatan. Barang siapa yang meminta untuk berada di Jalan Allah I maka dia telah meminta jalan penderitaan. Diriwayatkan oleh Rasulullah e, ?Barang siapa yang mencintaiku maka aku akan membebaninya.? Seseorang datang kepada Rasulullah e dan berkata, ?Wahai Nabi e, Aku mencintaimu,? dan Nabi e berkata, ?Maka bersiaplah untuk menjadi miskin.? Lain waktu orang lain lagi datang kepada Rasulullah e dan berkata, ?Ya, Rasulullah e, Aku mencintai Allah I,? dan Rasulullah e berkata, ?Maka siapkanlah dirimu untuk penderitaan.?
Beliau membaca sebuah ayat,
Setiap orang mendambakan kebaikan,
Namun tak seorang pun telah meraih kenaikan, Melainkan dengan mencintai
Sang Pencipta kebaikan.
Beliau berkata, ?Barang siapa yang mencintai dirinya sendiri, harus menyangkal dirinya, dan barang siapa yang menginginkan yang lain selain dirinya sendiri, sesungguhnya yang diinginkannya hanyalah dirinya sendiri.?
Tentang Pelatihan Spiritual
Ada tiga jalan di mana para murid meraih pengetahuannya:1. Muraqaba-Perenungan (kontemplasi)
2. Musyahada-Pengelihatan
3. Muhasaba-Penghitungan
Dalam keadaan perenungan, si pencari melupakan mahkluk dan hanya mengingat Sang Khalik saja.
Dalam keadaan pengelihatan, ilham dari Yang Ghaib mendatangi hati si pencari dengan disertai dua keadaan: penciutan dan pengembangan.
Pada keadaan penciutan, pengelihatan adalah tentang Ke-MahaKuasa-an, dan pada keadaan pengembangan pengelihatan adalah tentang Ke-Maha-Indahan.
Pada keadaan penghitungan, si Pencari mengevaluasi setiap jam yang telah lewat: apakah dia berada seluruhnya bersama Allah I ataukah berada seluruhnya bersama dunia?
Si pencari dalam thariqat ini pastilah amat sibuk menolak bisikan Setan dan godaan egonya. Dia mungkin menolaknya bahkan sebelum mereka mencapainya; atau dia mungkin menolaknya setelah mereka mencapainya namun sebelum mereka memegang kendali atasnya. Pencari lain, mungkin saja tidak menolaknya hingga mereka mencapainya dan mengendalikannya. Dia tak akan mendapatkan buahnya, karena pada saat seperti itu adalah mustahil untuk mengeluarkan bisikan-bisikan itu dari hatinya.
Tentang Maqam Spiritual
?Bagaimanakah hamba-hamba Allah I melihat perbuatan yang tersembunyi dan bisikan-bisikan hati?? Beliau menjawab, ?Dengan cahaya pengelihatan yang dianugerahkan Allah I pada mereka, seperti yang tertera dalam Hadits suci, ?Waspadalah dengan pengelihatan orang-orang yang beriman, karena dia melihat dengan Cahaya Allah I.??Beliau diminta untuk memperlihatkan kekuatan ajaibnya. Beliau berkata,
Keajaiban apakah yang lebih dahsyat yang ingin kau lihat daripada kenyataan bahwa kita masih berjalan di muka bumi ini dengan semua dosa di atas dan sekeliling kita.
Beliau ditanya, ?Siapakah para pembaca dan siapakah gerangan sang Sufi yang dimaksud oleh Junayd k, ?Putuskanlah dirimu dari para pembaca kitab-kitab, dan bergabunglah dengan para Sufi???
Beliau berkata, ?Para pembaca adalah orang yang sibuk dengan kata-kata dan nama-nama, dan Sufi adalah seseorang yang sibuk dengan inti sari dari nama-nama tersebut.?
Beliau memperingatkan, ?Bila seorang murid, seorang Syaikh atau siapa pun bicara tentang suatu keadaan yang belum didapatkannya, Allah I akan mencegahnya dari mencapai keadaan tersebut. Beliau berkata, ?Cermin dari setiap Syaikh memiliki dua arah. Namun cermin kita memiliki enam arah.?
Apa yang dimaksudkan dengan al-Hadits, ?Aku beserta orang-orang yang mengingat-Ku,? merupakan bukti nyata yang mendukung orang-orang yang di dalam hatinya senantiasa mengingat-Nya. Dan sabda Nabi e yang lainnya berbicara atas Nama Allah I, ?Puasa itu adalah bagi-Ku? merupakan suatu pernyataan bahwa sebenar-benarnya puasa adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah I.
Tentang Kemiskinan Spiritual
Beliau ditanya, ?Mengapa mereka disebut al-fuqara (orang yang miskin)?? Beliau menjawab,Karena mereka miskin, namun mereka tak perlu memohon. Seperti halnya Nabi Ibrahim u, ketika beliau dilemparkan ke dalam api dan Jibril u datang dan bertanya ?Apakah kau perlu pertolongan?,? dijawabnya, ?Aku tak perlu meminta sesuatu, Dia Maha Tahu keadaanku.?
Kemiskinan merupakan pertanda penghancuran dan penghapusan atribut-atribut kebendaan.
Beliau pernah ditanya, ?Siapakah si miskin itu?? Tak seorang pun menjawabnya. Beliau berkata, ?Si miskin adalah orang yang di dalamnya selalu berjuang dan di luarnya selalu berada dalam ketenangan.?
Tentang Adab terhadap Syaikh Seseorang
Amatlah penting bagi para pengikut, bila dia merasa bingung terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan Syaikhnya dan tak dapat memahami alasannya, untuk bersabar dan menjalankannya, dan tak menjadi curiga. Bila dia seorang pemula, dia mungkin bertanya; namun bila dia seorang murid, dia tak punya alasan untuk bertanya dan harus tetap bersabar dengan apa yang belum dia pahami.Adalah tak mungkin untuk meraih cinta dari hamba-hamba Allah I hingga engkau keluar dari dirimu sendiri.
Dalam Thariqat kita, terdapat tiga kategori adab:
1. Adab karimah terhadap Allah I yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, mengharuskan murid untuk menyempurnakan ibadahnya baik secara eksternal maupun internal, menjauhi semua larangan-Nya dan menjalankan segala apa yang telah diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala sesuatu selain Allah I.
2. Adab karimah terhadap Nabi Muhammad e, mengharuskan murid untuk membumbung tinggi pada keadaan yang disebutkan dalam ayat in kuntum tuhibbun Allah fattabi?unii (bila kamu ingin mencintai Allah I, maka ikutilah aku) [3:31]. Dia harus mengikuti semua keadaan Rasulullah e. Dia harus tahu bahwa Rasulullah e adalah jembatan antara Allah I dengan mahkluk-Nya dan bahwa segala sesuatu di bumi ini berada di bawah perintahnya yang mulia.
3. Adab karimah terhadap para Syaikh merupakan suatu keharusan bagi setiap pencari. Para Syaikh merupakan penyebab dan alat untuk mengikuti jejak Rasulullah e. Adalah suatu kewajiban bagi para pencari, baik dalam kehadiran mereka maupun dalam ketidakhadirannya, untuk menjalankan perintah-perintah dari Syaikh tersebut.
Suatu saat salah satu pengikutku memberiku salam. Aku tidak menjawabnya, meskipun merupakan keharusan dalam Sunnah untuk membalas salam. Hal ini membuat pengikutku tersebut kecewa. Aku mengirim seseorang kepadanya untuk meminta maaf, berkata kepadanya, ?Pada saat itu, ketika engkau memberiku salam, pikiranku, hatiku, jiwaku, ragaku, ruhku sedang hilang sepenuhnya dalam Hadirat Ilahi, mendengarkan apa yang dikatakan Allah I kepadaku. Hal ini membuatku begitu terpenuhi dalam Firman Allah I sehingga Aku tak mampu membalas siapapun.?
Tentang Niat
Sangatlah penting untuk meluruskan niat, karena niat itu dari dunia ghaib, bukan dari dunia materi. Untuk alasan tersebut, Ibnu Sirin (penulis buku tabir mimpi) tidak berdo?a pada shalat jenazah Hasan al-Basri k. Beliau berkata, ?Bagaimana Aku dapat berdo?a ketika niatku belum mencapaiku dan menghubungkanku dengan yang ghaib?? Niat (niyyah) sangat penting, karena dia terdiri atas 3 huruf, yaitu: Nun, yang melambangkan nur Allah, Cahaya Allah I; ya, yang melambangkan yad Allah, Tangan Allah I; dan ha, yang melambangkan hidayat Allah, Bimbingan Allah I. Niat adalah hembusan jiwa.Tentang Tugas-Tugas Para Awliya
Allah I menciptakan aku untuk menghancurkan kehidupan materialistik, tetapi orang-orang menginginkan aku untuk membangun kehidupan materialistik mereka.Hamba-hamba Allah I menanggung beban penciptaan agar semua ciptaan belajar darinya. Allah I melihat pada hati Awliya-Nya dengan cahaya-cahaya-Nya, dan siapa pun yang berada di sekeliling wali itu dia akan mendapat berkah dari cahaya tersebut.
Syaikh harus mengetahui tingkatan muridnya dalam tiga kategori, yaitu: di masa lalu, masa kini, dan masa depan agar dia dapat menaikkan (maqam)-nya.
Siapa pun yang melakukan bay?at dengan kita dan mengikuti kita dan mencintai kita, apakah dia dekat atau jauh, di mana pun dia berada, bahkan jika dia berada di Timur dan kami di Barat, kami memeliharanya dengan aliran cinta dan memberinya cahaya dalam kehidupan sehari-harinya.
Tentang Dzikir Keras (Zahar) dan Dzikir Dalam Hati (Khafi)
Dari kehadiran al-Azizan ada dua metode dzikir, yaitu dzikir khafi (dalam hati) dan dzikir zahar (keras). Aku menyukai dzikir dalam hati karena dia lebih kuat dan lebih bijaksana.Izin untuk melakukan dzikir harus diberikan oleh orang yang sempurna, agar bisa mempengaruhi orang yang menggunakannya, sebagaimana halnya panah dari seorang yang ahli memanah lebih baik daripada panah yang dilepaskan dari busur orang biasa.
Beliau menambahkan 3 Prinsip ke dalam 8 Prinsip Syaikh Abdul Khaliq:
9. Kesadaran akan Waktu (wuquf zamani)
Kesadaran akan waktu berarti memperhatikan ketenangan seseorang dan mengecek kecenderungan seseorang kepada kelalaian. Para pencari harus mengetahui berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bergerak menuju kematangan spiritual dan harus mengenal di tempat apa dia telah sampai dalam perjalannya menuju Hadirat Ilahi. Para pencari harus membuat kemajuan dengan segala usahanya. Dia harus menghabiskan seluruh waktunya untuk satu tujuan yaitu sampai di maqam Cinta Ilahi dan Hadirat Ilahi. Dia harus menjadi sadar bahwa dalam segala usahanya dan dalam segala tindakannya Allah I menyaksikan sampai sedetail-detailnya. Para pencari harus membuat catatan mengenai tindakan dan niatnya setiap hari dan setiap malam dan menganalisa tindakannya setiap jam, setiap detik, dan setiap saat. Jika semuanya baik, dia bersyukur kepada Allah I atas nikmat tersebut. Jika tindakannya buruk, dia harus bertaubat dan memohon ampun kepada Allah I.
Ya’qub al-Charki k berkata bahwa Syaikhnya, Ala’uddin al-Attar k berkata,
Dalam keadaan depresi, engkau harus banyak beristighfar (memohon ampunan Allah I), dan dalam keadaan bergembira, harus banyak bersyukur kepada Allah I.
Sebagai pertimbangan kedua keadaan ini, kontraksi (menciut) dan ekspansi (mengembang), adalah arti dari wuquf zamani.
Syah Naqsyband k menerangkan keadaan tersebut dengan berkata,
Engkau harus menjadi awas akan dirimu. Jika engkau mengikuti syari?ah maka engkau harus bersyukur kepada Allah I, bila tidak, maka engkau harus memohon ampun.
Yang penting bagi seorang pencari dalam keadaan ini adalah menjaga periode waktu terkecil agar tetap aman. Dia harus menjaga dirinya dan menilai apakah dia dalam Hadirat Allah I atau dalam hadirat egonya, setiap saat dalam hidupnya. Syah Naqsyband k berkata, ?Engkau harus mengevaluasi bagaimana engkau menghabiskan waktumu: dalam Kehadiran atau dalam Kelalaian.?
10. Kesadaran akan Jumlah (wuquf `adadi)
Kesadaran akan jumlah berarti para pencari yang sedang berdzikir harus memperhatikan bilangan dzikir yang tepat yang diperlukan dalam dzikir khafi. Menjaga hitungan dzikir ini bukan untuk perhitungan itu sendiri tetapi demi menjaga hati agar tetap aman dari pikiran buruk dan untuk meningkatkan konsentrasi dalam usaha mencapai jumlah pengulangan yang telah ditetapkan oleh Syaikh secepat mungkin. Pilar dzikir melalui perhitungan adalah untuk membawa hati kepada Hadirat Ilahi yang disebutkan dalam dzikir tersebut dan tetap menghitung, satu demi satu, untuk membawa perhatian seseorang kepada realitas bahwa setiap orang membutuhkan Dia Yang Maha Esa yang tanda-tanda (Kebesaran)-Nya tampak pada setiap makhluk.
Syah Naqsyband k berkata, ?Memperhatikan jumlah dzikir adalah langkah pertama dalam tahap mendapatkan Pengetahuan Surgawi (`ilm ul-ladunni).? Ini berarti perhitungan itu mengantarkan seseorang untuk mengenali bahwa hanya Satu yang dibutuhkan dalam hidup. Semua persamaan matematis memerlukan nomor Satu. Semua makhluk membutuhkan Zat Yang Maha Esa.
11. Kesadaran akan Hati (wuquf qalbi)
Kesadaran akan hati berarti mengarahkan hati para pencari menuju Hadirat Ilahi, di mana dia tidak akan melihat yang lain kecuali Yang Paling Dicintainya. Hal itu berarti untuk mengalami manifestasi-Nya (tajjali) dalam semua keadaan. Ubayd Allah al-Ahrar k berkata, ?Tingkat Kesadaran Hati adalah tingkatan untuk hadir dalam Hadirat Ilahi sedemikian rupa sehingga engkau tidak bisa melihat yang lain selain Dia.? Dalam situasi demikian seseorang memusatkan tempat dzikirnya dalam hati sebab inilah pusat kekuatan. Semua pikiran dan inspirasi, baik maupun buruk, jatuh dan muncul satu demi satu, berputar dan mengalir, bergerak di antara terang dan gelap, dalam perputaran yang konstan, di dalam hati. Dzikir diperlukan untuk mengontrol dan mengurangi gejolak dalam hati.
Makna dari Ummat Muhammad e
Syah Naqsyband k berkata,
Ketika Rasulullah e bersabda, ?Porsi ummatku yang ditakdirkan untuk api neraka adalah seperti porsi Ibrahim u yang ditakdirkan untuk api Namrud,? beliau memberi kabar gembira tentang penyelamatan bagi ummatnya sebagaimana Allah I telah menggariskan penyelamatan untuk Ibrahim u, Ya naru kunii bardan wa salaman ?ala Ibrahiim (’Wahai api, jadilah dingin dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim u?) [21:69]. Ini dikarenakan Rasulullah e bersabda, ‘Ummatku tidak akan setuju dengan suatu kesalahan,? menegaskan bahwa Ummat tidak akan menerima perbuatan yang salah, dan dengan demikian Allah I akan menyelamatkan ummat Muhammad e dari api neraka.”
Syaikh Ahmad Faruqi k mengatakan bahwa Syah Naqsyband k berkata,
Ummat Muhammad e meliputi semua orang yang muncul setelah Rasulullah e. Dia terdiri atas 3 macam ummat, yaitu:
1. Ummatu-d-Da?wah: yaitu setiap orang yang benar-benar muncul setelah Rasulullah e dan mendengar pesannya. Dari berbagai ayat dalam al-Quran, sudah jelas bahwa Rasulullah e datang kepada semua manusia tanpa kecuali, lebih jauh lagi ummatnya cukup menjadi saksi bagi ummat-ummat yang lain, dan Rasulullah e adalah orang yang menjadi saksi bagi setiap orang, termasuk ummat-ummat yang lain dan saksi-saksi yang mewakili mereka masing-masing.
2. Ummatu-l-Ijaba: yaitu orang-orang yang menerima pesannya.
3. Ummatu-l-Mutaba?a: yaitu orang-orang yang menerima pesan dan mengikuti jejak Rasulullah e.
Semua golongan ummat Rasulullah e tersebut akan selamat. Jika mereka tidak diselamatkan melalui amalnya, mereka akan diselamatkan melalui Perantaraan Rasulullah e, menurut sabdanya, ?Perantaraanku adalah untuk para pendosa besar di antara Ummatku.?
Dalam Mencapai Hadirat Ilahi
Beliau berkata,
Apa yang dimaksud dengan hadits Rasulullah e, as-shalatu mi?raj ul-mu’min (?Shalat adalah mi?raj bagi orang yang beriman?), adalah indikasi yang jelas mengenai tingkatan Shalat yang sejati, di mana orang-orang yang shalat naik ke Hadirat Ilahi dan padanya terdapat manifestasi rasa hormat yang mendalam, kepatuhan dan kerendahan hati, di mana hatinya mencapai keadaan kontemplasi melalui shalatnya. Ini akan mengantarkannya kepada suatu panorama dari Rahasia Ilahi. Itu adalah deskripsi mengenai shalatnya Rasulullah e dalam sirah (sejarah hidupnya). Dikatakan bahwa ketika Rasulullah e mencapai keadaan tersebut, orang-orang di luar kota pun dapat mendengar suara yang berasal dari dadanya yang menyerupai dengungan lebah.
Salah satu ulama di Bukhara bertanya kepada beliau, ?Bagaimana seorang hamba mencapai Hadirat Ilahi dalam shalatnya?? Beliau menjawab,
Dengan memakan dari hasil jerih payahmu dan dengan mengingat Allah I dalam shalat dan di luar shalatmu, dalam setiap penyucian diri dan dalam setiap peristiwa hidupmu.
Tentang Politheisme Tersembunyi - Syirik
Syaikh Salah, seorang pelayannya melaporkan,Suatu ketika Syah Naqsyband k berkata kepada para pengikutnya, ?Suatu hubungan antara hatimu dengan sesuatu selain Allah I adalah hijab terbesar bagi seorang pencari,? setelah itu beliau membaca bait puisi berikut,
?Hubungan dengan selain Allah I,
?Adalah hijab (sekat) terkuat,
?Dan meninggalkannya,
?Adalah Jalan Pembuka bagi suatu Pencapaian.?
Segera setelah beliau membacakan bait tersebut, terlintas dalam benakku bahwa beliau merujuk pada hubungan antara Iman dan penyerahan diri pada Kehendak Ilahi. Beliau menoleh kepadaku, tertawa dan berkata, ?Apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Hallaj? ?Aku menolak agama Allah I, dan penolakan itu adalah wajib bagiku meskipun tampak menyeramkan bagi kebanyakan Muslim.? Wahai Syaikh Salah, apa yang terlintas dalam benakmu?bahwa hubungan itu adalah dengan Iman dan Islam?bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah Iman Sejati, dan Iman Sejati bagi Orang yang Benar adalah membuat hatinya menyangkal apapun selain Allah I. Itulah yang membuat Hallaj berkata, ?Aku menyangkal agama-Mu dan penyangkalan itu adalah wajib bagiku, meskipun tampak menyeramkan bagi Muslim.? Hatinya tidak menginginkan yang lain kecuali Allah I.
?Tentu saja Hallaj tidak menyangkal Imannya dalam Islam, tetapi beliau menekankan bahwa hatinya hanya terkait kepada Allah I saja. Jika Hallaj tidak menerima segala sesuatu selain Allah I, bagaimana mungkin orang mengatakan bahwa sebenarnya beliau menyangkal agama Allah I? Pernyataannya tentang realitas Kesaksiannya mencakup segalanya dan membuat kesaksian Muslim yang awam menjadi mainan anak-anak.?
Syaikh Salah k melanjutkan,
Syah Naqsyband k berkata, ?Hamba-hamba Allah I tidak bangga dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukannya karena cinta kepada Allah I.?
?Rabi?a al-?Adawiyya k berkata, ?Ya Allah I, Aku tidak beribadah untuk mencari balasan Surga-Mu, tidak pula karena takut akan siksa-Mu, tetapi Aku menyembah-Mu hanya untuk Cinta-Mu.? Jika ibadahmu untuk menyelamatkan dirimu sendiri atau untuk mendapat balasan tertentu bagi dirimu sendiri, maka itu adalah syirik yang tersembunyi, karena engkau telah menyekutukan Allah I baik dengan pahala maupun azab. Inilah yang dimaksud oleh Hallaj.?
Syaikh Arslan ad-Dimasyqi k berkata sebagaimana yang diceritakan oleh Syah Naqsyband k,
Ya Allah I, agama-Mu bukanlah apa-apa, melainkan syirik yang tersembunyi, dan untuk tidak beriman kepadanya adalah wajib bagi seluruh hamba yang benar. Orang-orang yang beragama tidak menyembah-Mu, mereka hanya beribadah untuk mendapat Surga atau agar selamat dari Neraka. Mereka menyembah keduanya sebagai berhala, dan itulah seburuk-buruknya kemusyrikan. Engkau telah berkata, man yakfur bi-t-taghuti wa yu’min billahi faqad istamsaka bil-?urwati-l-wutsqa (?Barangsiapa yang ingkar terhadap Taghut (berhala) dan beriman kepada Allah I, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada Pegangan (Tali) yang Kokoh?) [2:256]. Untuk ingkar kepada berhala-berhala ini dan beriman kepada-Mu adalah wajib bagi orang-orang yang benar.
Syaikh Abul-Hasan asy-Syadzili k, salah seorang Syaikh Sufi agung pernah ditanya oleh Syaikhnya, ?Wahai anakku, dengan apa engkau akan bertemu Tuhanmu?? Beliau berkata, ?Aku datang kepada-Nya dengan kemiskinanku.? Syaikhnya menjawab,
Wahai anakku, jangan kau ulangi lagi hal ini. Ini adalah berhala terbesar, karena engkau masih mendatangi-Nya dengan sesuatu. Bebaskan dirimu terhadap segala sesuatu baru kemudian engkau datang kepada-Nya. Para fuqaha (ahli hukum) dan pemegang ilmu eksternal memegang teguh pada perbuatan mereka dan dengan dasar tersebut mereka mengembangkan konsep pahala dan azab. Jika mereka baik, mereka akan mendapat kebaikan dan bila mereka buruk mereka menemukan keburukan, apa yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah perbuatannya dan apa yang menyakitinya adalah perbuatannya juga. Bagi penganut thariqat, hal ini adalah syirik tersembunyi, karena seseorang menyekutukan sesuatu dengan Allah I. Meskipun untuk melakukan (perbuatan baik) adalah suatu kewajiban, tetap saja hati tidak boleh terikat dengan perbuatan tersebut. Perbuatan itu hanya dilakukan karena Allah I dan untuk Cinta-Nya, tanpa pamrih apa pun.
Tentang Thariqat Naqsybandi
Syah Naqsyband k berkata,Thariqat kita sangat langka dan sangat berharga. Ini adalah ?urwati-l-wutsqa (?Memegang Teguh?), jalan untuk memegang jejak Rasulullah e dan para Sahabatnya dengan teguh dan kokoh. Mereka membawaku ke jalan ini dari pintu Nikmat, karena pada awal dan akhirnya, Aku tidak melihat apapun kecuali Nikmat Allah I. Di jalan ini pintu-pintu besar dari Pengetahuan Surgawi akan dibukakan bagi para pencari yang mengikuti jejak Rasulullah e.
Untuk mengikuti Sunnah Rasulullah e adalah jalan terpenting yang akan membukakan pintu kepadamu.
Barangsiapa yang tidak datang ke jalan kita, maka agamanya berada dalam bahaya.
Beliau pernah ditanya, ?Bagaimana seseorang datang ke jalanmu?? Beliau menjawab, ?Dengan mengikuti Sunnah Rasulullah e.?
Kami telah membawa penghinaan dalam Jalan ini, dan sebagai balasannya Allah I memberkati kita dengan Kemuliaan-Nya.
Beberapa orang berkata tentang beliau bahwa kadang-kadang beliau terlihat arogan. Beliau berkata, ?Kami bangga karena Dia, karena Dia adalah Tuhan kami, yang memberi kami Dukungan-Nya!
Beliau berkata, ?Untuk mencapai Rahasia Ke-Esaan kadang-kadang mungkin, tetapi untuk meraih Rahasia Pengetahuan Spiritual (ma?rifat) adalah sangat sulit sekali.?
Pengetahuan Spiritual bagaikan air, dia mengambil warna dan bentuk cangkirnya. Pengetahuan Allah I begitu luar biasa, sehingga berapa pun yang kita ambil, itu hanya seperti sebuah tetes dalam Samudra yang Mahaluas. Dia bagaikan taman yang sangat luas, berapa pun yang kita pangkas, seolah-olah kita hanya memangkas sekuntum bunga saja.
Pandangannya terhadap Makanan
Syah Naqsyband k, semoga Allah I mensucikan jiwanya, berada dalam tingkatan tertinggi dalam menolak keinginan terhadap dunia ini. Beliau mengikuti jalan yang shaleh, terutama dalam hal tata cara makannya. Beliau mengambil segala jenis pencegahan sehubungan dengan makanannya. Beliau hanya mau makan dari barley yang ditanamnya sendiri. Beliau akan memanennya, menggilingnya, membuat adonan, menanak dan memanggangnya sendiri. Semua ulama dan para pencari di masanya membuat jalan mereka menuju rumahnya, agar bisa makan di mejanya dan mendapatkan berkah dari makanannya.
Beliau mencapai suatu kesempurnaan dalam hal penghematan; di musim dingin, beliau hanya meletakkan selembar karpet tua di lantai rumahnya dan ini tidak memberi perlindungan dari udara dingin yang menusuk. Di musim panas beliau meletakkan tikar yang sangat tipis di lantai. Beliau mencintai orang yang miskin dan membutuhkan. Beliau mendorong para pengikutnya untuk mencari nafkah dengan cara yang halal, yaitu dengan membanting tulang. Beliau mendorong mereka untuk membagikan uangnya kepada fakir miskin. Beliau memasak untuk fakir miskin dan mengundang mereka untuk makan bersama. Beliau melayani mereka dengan tangannya sendiri yang suci dan mendorong mereka agar tetap berada di Hadirat Allah I. Jika salah seorang di antara mereka memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan cara yang tidak baik, beliau akan menegurnya, melalui pandangan spiritualnya terhadap apa yang telah mereka lakukan dan mendorong mereka untuk tetap ingat kepada Allah I ketika sedang makan.
Beliau mengajarkan bahwa,
Salah satu pintu yang paling penting menuju ke Hadirat Allah I adalah makan dengan Kesadaran. Makanan memberikan kekuatan bagi tubuh, dan makan dengan kesadaran memberikan kesucian bagi tubuh.
Suatu saat beliau diundang ke sebuah kota bernama Ghaziat di mana salah seorang muridnya telah menyiapkan makanan baginya. Ketika mereka duduk untuk makan, beliau tidak menyentuh makanannya. Tuan rumah menjadi terkejut. Syah Naqsyband k berkata, ?Wahai anakku, Aku ingin tahu bagaimana engkau menyiapkan makanan ini. Sejak engkau membuat adonan dan memasaknya sampai engkau menyajikannya, engkau berada dalam keadaan marah. Makanan in bercampur dengan kemarahan itu. Jika kita memakan makanan itu, Setan akan menemukan jalan untuk masuk melaluinya dan menyebarkan seluruh sifat buruknya ke seluruh tubuh kita.?
Di waktu yang lain beliau diundang ke kota Herat oleh rajanya, Raja Hussain. Raja Hussain sangat senang dengan kunjungan Syah Naqsyband k dan memberikan pesta besar baginya. Raja mengundang semua mentrinya, Syaikh-Syaikh dari kerajaannya dan seluruh tokoh terhormat. Beliau berkata, ?Makanlah makanan ini. Ini adalah makanan yang murni, yang dibuat dari uang yang halal yang kudapat dari warisan ayahku.? Semua orang makan kecuali Syah Naqsyband k, hal ini mendorong Syaikh ul-Islam pada saat itu, Qutb ad-din, untuk bertanya, ?Wahai Syaikh kami, mengapa engkau tidak makan?? Syah Naqsyband k berkata, ?Aku mempunyai seorang hakim tempat Aku berkonsultasi. Aku bertanya kepadanya dan hakim itu berkata kepadaku, ?Wahai anakku, mengenai makanan ini terdapat dua kemungkinan. Jika makanan ini tidak halal dan engkau tidak makan, bila engkau ditanya engkau dapat mengatakan Aku datang ke meja seorang raja tetapi Aku tidak makan. Maka engkau akan selamat karena engkau tidak makan. Tetapi bila engkau makan dan engkau ditanya, maka apa yang akan kau katakan? Maka engkau tidak akan selamat.? Pada saat itu, Qutb ad-Din begitu terkesan dengan kata-kata ini dan tubuhnya mulai bergetar. Beliau harus meminta izin kepada raja untuk menghentikan makannya. Raja sangat heran dan bertanya, ?Apa yang harus kita lakukan dengan semua makanan ini?? Syah Naqsyband k berkata, ?Jika ada keraguan mengenai kesucian makanan ini, lebih baik berikan kepada fakir miskin. Kebutuhan mereka (akan makanan-red) akan membuatnya halal bagi mereka. Jika seperti yang engkau katakan, makanan ini halal, maka akan lebih banyak lagi berkah dalam pemberian makanan ini sebagai sedekah kepada mereka yang membutuhkan daripada menjamu orang-orang yang tidak (benar-benar membutuhkannya-red).?
Sebagian besar hari-harinya dijalani dengan berpuasa. Jika seorang tamu mendatanginya dan beliau mempunyai sesuatu yang bisa ditawarkan kepadanya, maka beliau akan duduk menemaninya, membatalkan puasanya dan makan bersamanya. Beliau berkata kepada para pengikutnya bahwa para Sahabat Rasulullah e biasa melakukan hal yang sama. Syaikh Abul Hasan al-Kharqani k berkata dalam bukunya, Prinsip-Prinsip Thariqat dan Prinsip-Prinsip dalam Meraih Makrifat,
Jagalah keharmonisan dengan para sahabat, tetapi tidak dalam berbuat dosa. Ini berarti bahwa jika engkau sedang berpuasa, lalu ada seseorang yang berkunjung sebagai teman, maka engkau harus duduk bersamanya dan makan bersamanya demi menjaga adab dalam berteman dengannya. Salah satu prinsip dalam puasa, atau ibadah lainnya adalah menyembunyikan apa yang dilakukan oleh seseorang. Jika seseorang membukanya, misalnya dengan berkata kepada tamunya bahwa dia sedang berpuasa, maka kebanggaan bisa masuk ke dalam dirinya sehingga menghancurkan puasanya. Inilah alasan di balik prinsip tersebut.
Suatu hari beliau diberikan seekor ikan yang telah dimasak sebagai hadiah. Di sekitarnya terdapat banyak orang miskin, di antara mereka terdapat seorang anak yang sangat shaleh dan sedang berpuasa. Syah Naqsyband k memberikan ikan itu kepada orang-orang miskin dan mengatakan kepada mereka, ?Silakan duduk dan makan,? demikian pula kepada anak yang sedang berpuasa itu, ?Duduk dan makanlah.? Anak itu menolak. Beliau berkata lagi, ?Batalkan puasamu dan makanlah,? lagi-lagi anak itu menolak. Beliau bertanya kepadanya, ?Bagaimana jika Aku memberimu salah satu di antara hari-hariku di bulan Ramadhan? Maukah engkau duduk dan makan?? Sekali lagi dia menolak. Beliau berkata kepadanya, ?Bagaimana jika Aku memberimu seluruh Ramadhanku?? Namun masih saja dia menolak. Beliau berkata, ?Bayazid al-Bistami k pernah suatu kali dibebani orang sepertimu.? Sejak saat itu anak itu terlihat berpaling untuk mengejar kehidupan duniawi. Dia tidak pernah berpuasa dan tidak pernah beribadah lagi.
Insiden yang dirujuk oleh Syah Naqsyband k terjadi ketika Syaikh Abu Turab an-Naqsybandi k mengunjungi Bayazid al-Bistami k. Pelayan beliau menawarkan makanan. Abu Turab k berkata kepada pelayan itu, ?Datanglah ke sini, duduk dan makan bersamaku.? Pelayan itu menolak, ?Tidak, Aku sedang berpuasa.? Beliau berkata, ?Makanlah, dan Allah I akan memberimu pahala puasa selama satu tahun.? Dia tetap menolak. Beliau berkata lagi, ?Ayo makan, Aku akan berdo?a kepada Allah I agar Dia memberimu pahala dua tahun puasa.? Kemudian Hadrat Bayazid k berkata, ?Tinggalkan dia. Allah I tidak lagi memeliharanya.? Hari-hari berikutnya kehidupannya semakin buruk dan dia menjadi seorang pencuri.
Keajaiban-Keajaiban dan Kemurahannya
Keadaan Syah Naqsyband k berada di luar jangkauan untuk dilukiskan dan tingkat pengetahuannya pun tidak dapat dilukiskan. Salah satu keajaiban terbesarnya adalah eksistensinya itu sendiri. Beliau sering menyembunyikan tindakannya dengan tidak memperlihatkan kekuatan ajaibnya. Namun demikian banyak keajaibannya yang tercatat.
Syah Naqsyband k, semoga Allah I memberkati jiwanya, berkata,
Suatu hari Aku pergi bersama Muhammad Zahid k ke gurun. Beliau adalah seorang murid yang dapat dipercaya dan kami memiliki sebuah kapak beliung (pickaxe) yang kami gunakan untuk menggali. Ketika kami sedang bekerja dengan beliung itu, kami berdiskusi tentang tingkat pengetahuan yang dalam seperti itu di mana kami melempar beliung dan masuk lebih dalam ke dalam pengetahuan spiritual. Kami bergerak semakin dalam sampai pembicaraan kami mengantarkan kami pada asal penyembahan (ibadah). Dia bertanya kepadaku, ?Wahai Syaikhku, sampai batas mana yang bisa dicapai oleh ibadah?? Aku berkata, ?Ibadah mencapai tingkat kesempurnaan di mana orang yang beribadah dapat berkata kepada seseorang ?meninggal? dan orang itu akan meninggal.? Tanpa sadar Aku menunjuk pada Muhammad Zahid k. Dengan segera dia meninggal. Dia berada dalam keadaan meninggal sejak matahari terbit hingga tengah hari. Hari itu sangat panas. Aku merasa cemas karena tubuhnya menjadi rusak akibat panas yang berlebihan. Aku menariknya ke bawah bayangan pohon dan Aku duduk di sana merenungkan persoalan ini. Ketika Aku merenung sebuah inspirasi dari Hadirat Ilahi masuk ke dalam hatiku dan mengatakan kepadaku agar berkata kepadanya, ?Wahai Muhammad, hiduplah!’ Aku mengucapkannya 3 kali. Hasilnya, jiwanya mulai memasuki tubuhnya, dan kehidupan mulai kembali lagi padanya. Secara perlahan dia kembali ke keadaan semula. Aku pergi ke Syaikhku dan menceritakan apa yang terjadi. Beliau berkata, ?Wahai anakku, Allah I memberimu suatu rahasia yang belum pernah diberikan kepada orang lain.?
Syaikh Alauddin al-’Attar k berkata,
Suatu ketika raja Transoxiana, Sultan Abdullah Kazgan, datang ke Bukhara. Beliau memutuskan untuk berburu di sekitar Bukhara dan banyak orang yang menemaninya. Syah Baha’uddan Naqsyband k berada di desa sekitar. Ketika orang pergi berburu, Syah Naqsyband k pergi ke puncak bukit dan duduk di sana. Ketika beliau sedang duduk di sana, dalam benaknya terlintas pikiran bahwa Allah I memberikan kemuliaan yang berlimpah kepada para awliya. Karena kemuliaan itu, semua raja di dunia ini akan membungkuk kepada mereka. Belum lagi pikiran itu hilang dari hatinya, seorang penunggang kuda dengan mahkota di kepalanya seperti seorang raja, datang ke hadiratnya dan turun dari kudanya. Dengan rendah hati dia menyalami Syah Naqsyband k dan berdiri di hadiratnya dengan sangat sopan. Dia membungkuk di hadapan Syaikh tetapi Syaikh tidak menoleh kepadanya. Beliau membiarkannya berdiri selama satu jam. Akhirnya, Syah Naqsyband k melihatnya dan berkata, ?Apa yang engkau lakukan di sini?? Dia berkata, ?Aku seorang raja, Sultan Kazgan. Aku sedang pergi berburu, dan Aku mencium aroma yang sangat indah. Aku mengikutinya ke sini dan Aku menemukan engkau duduk di tengah cahaya yang sangat kuat.? Pikirannya yang tadi, ?Semua raja di dunia ini akan membungkuk kepada para awliya? langsung menjadi kenyataan. Itulah bagaimana Allah I memuliakan pikiran para awliya-Nya.
Salah satu pengikutnya yang melayaninya di kota Merv melaporkan,
Suatu hari Aku ingin menemui keluargaku di Bukhara setelah mendengar bahwa saudaraku Syamsuddin meninggal. Aku membutuhkan izin dari Syaikhku untuk pergi. Aku berbicara dengan Amir Hussain, Pengeran dari Heart, untuk memintakan izin kepada Syah Naqsyband k atas namaku. Dalam perjalanan sepulang shalat Jumat, Amir Hussain mengatakan kepadanya tentang kematian saudaraku dan bahwa Aku meminta izin untuk pergi menemui keluargaku. Beliau berkata, ?Tidak, hal itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin engkau berkata bahwa dia telah meninggal karena Aku melihatnya masih hidup. Lebih dari itu, Aku bahkan dapat mencium wangi tubuhnya. Aku akan membawanya ke sini sekarang.? Beliau baru saja mengakiri ucapannya ketika saudaraku muncul. Dia mendekati Syaikh, mencium tangannya dan menyalami Amir Hussain. Aku memeluk saudaraku dan itu adalah kebahagaiaan yang sangat besar di antara kami.
Syaikh Alauddin Attar k berkata,
Syaikh Syah Naqsyband k suatu kali duduk di sebuah asosiasi yang besar di Bukhara dan berbicara mengenai pembukaan tabir pandangan spiritual. Beliau berkata, ?Sahabat terbaikku, Mawla ‘Arif, yang berada di Khwarazm, (400 mil dari Bukhara) telah meninggalkan Khwarazm untuk gedung pemerintah, dan beliau sampai di stasiun kereta berkuda. Ketika beliau sampai di stasiun tersebut beliau tinggal di sana untuk beberapa saat dan sekarang kembali lagi ke rumahnya di Khwarazm. Beliau tidak melanjutkan perjalanannya ke Saray. Inilah bagaimana seorang wali dapat melihat dalam maqam pengetahuannya spiritualnya.? Setiap orang kaget mendengar cerita ini tetapi kami semua tahu bahwa beliau adalah seorang wali besar, maka kami mencatat waktu dan harinya. Suatu hari Mawla ‘Arif datang dari Khwarazm ke Bukhara dan kami memberitahu dia mengenai kejadian itu. Dia sangat kaget dan berkata, ?Sebenarnya, itulah kejadian yang sesungguhnya.?
Beberapa ulama dari Bukhara bepergian ke Iraq bersama beberapa murid Syah Naqsyband k ketika mereka tiba di kota Simnan. Mereka mendengar bahwa ada sosok yang diberkati yang bernama Sayyid Mahmoud, yang merupakan murid Syaikh. Mereka pergi mengunjungi rumahnya dan bertanya kepadanya, ?Bagaimana engkau bisa berhubungan dengan Syaikh?? Beliau berkata,
Suatu ketika Aku melihat Rasulullah e dalam sebuah mimpi, duduk di sebuah tempat yang sangat baik, dan di sampingnya duduk seorang dengan penampilan yang sangat elok. Aku berkata kepada Rasulullah e dengan penuh hormat dan rendah hati, ?Ya Rasulullah e, Aku tidak diberi kemuliaan untuk menjadi sahabatmu semasa hidupmu. Apa yang dapat kulakukan dalam hidupku agar bisa mendekati kemuliaan itu?? Beliau berkata, ?Wahai anakku jika engkau ingin dimuliakan dengan menjadi sahabat kami dan duduk bersama kami dan diberkati, engkau harus mengikuti anakku, Syah Baha?uddin Naqsyband k.? Aku lalu bertanya, ?Siapakah Syah Baha?uddin Naqsyband k?? Beliau menjawab kepadaku, ?Apakah engaku lihat orang yang duduk di sebelahku? Inilah orangnya. Jagalah kebersamaanmu dengannya.? Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Ketika Aku bangun, Aku menulis namanya dan deskripsinya dalam sebuah buku yang kumiliki di perpustakaanku. Hari-hari pun berlalu setelah mimpi itu, sampai suatu hari, ketika Aku sedang berdiri di sebuah toko, Aku melihat seseorang dengan penampilan yang anggun dan bercahaya mendatangi toko dan duduk di sebuah kursi. Ketika Aku melihatnya, Aku ingat mimpi itu dan apa yang terjadi di dalamnya. Dengan segera Aku menghampirinya dan bertanya kepadanya apakah beliau berkenan mengunjungi rumahku dan tinggal bersamaku. Beliau menerimanya dan mulai berjalan di depanku sementara itu Aku mengikutinya. Aku malu untuk berjalan di depannya, bahkan untuk menunjukkan jalan menuju rumahku. Beliau tidak menoleh sekali pun kepadaku, tetapi langsung mengambil jalan menuju rumahku. Aku baru saja ingin mengatakan, ?Inilah rumahku?, ketika beliau berkata, ?Ini rumahmu.? Beliau berjalan ke dalam dan langsung menuju ruangan istimewaku. Beliau berkata, ?Ini kamarmu.? Beliau pergi ke lemari dan mengambil sebuah buku di antara ratusan buku. Beliau memberikan buku itu dan bertanya padaku, ?Apa yang engkau tulis di sini?? Apa yang telah kutulis adalah apa yang kulihat dalam mimpi. Dengan segera suatu keadaan tidak sadar menguasaiku dan Aku merasa pusing dengan cahaya yang masuk ke dalam hatiku. Ketika Aku bangun, Aku bertanya kepadanya apakah beliau akan menerimanya. Beliau adalah Syah Baha’uddin Naqsyband k.
Syaikh Muhammad Zahid k berkata,
Di awal perjalananku dalam Thariqat ini, Aku duduk di sampingnya suatu hari di musim semi. Sebuah keinginan akan semangka masuk ke dalam hatiku. Beliau melihatku dan berkata, ?Muhammad Zahid k, pergilah ke sungai di dekat kita itu dan bawakan kepada kita apa yang engkau lihat dan kita akan memakannya.? Dengan segera Aku pergi ke sungai itu. Airnya sangat dingin. Aku menyelam ke dalamnya dan menemukan sebuah semangka di bawah air, sangat segar, seolah-olah baru saja dipotong dari dahannya. Aku sangat bergembira dan Aku mengambilnya dan berkata, ?Wahai Syaikhku terimalah aku.??
Salah satu muridnya melaporkan hal berikut mengenai kunjungannya menemui beliau.
Sebelum kunjungan itu beliau menanyakan Syaikh Syadi, salah seorang murid senior, untuk menasihatinya, ?Beliau berkata kepadaku, ?Wahai saudaraku, bila engkau pergi mengunjungi Syaikh atau ketika engkau duduk di tengah kehadiran Syaikh, berhati-hatilah agar jangan meletakkan kakimu sedemikian rupa sehingga kakimu menghadap ke arahnya.? Segera setelah Aku meninggalkan Ghaziut dalam perjalananku ke Qasr al-’Arifan, Aku menemukan sebuah pohon dan berbaring di bawahnya dengan kaki berselonjor. Sayangnya seekor binatang datang dan menggigit kakiku. Kemudian aku tertidur lagi dengan rasa nyeri, dan ketika aku tertidur seekor binatang menggigitku lagi. Tiba-tiba aku sadar bahwa Aku telah membuat suatu kesalahan besar, Aku telah menghadapkan kakiku ke arah Syaikhku. Dengan segera Aku bertaubat dan binatang yang menggigitku itu pun pergi.
Suatu saat beliau didesak untuk memperlihatkan kekuatan ajaibnya untuk mempertahankan salah satu penerusnya di Bukhara, Syaikh Muhammad Parsa k. Hal ini terjadi ketika Syaikh Muhammad Syamsuddin al-Jazari datang ke Samarkand, di masa Raja Mirza Aleg Beg, untuk menentukan pembenaran atas mata rantai transmisi dalam Narasi Hadits. Beberapa ulama korup yang iri mengeluh bahwa Syaikh Muhammad Parsa k telah memberikan narasi-narasi hadits yang rantai transmisinya tidak dikenal. Mereka berkata kepada Syamsuddin, ?Jika engkau mencoba memperbaiki masalah itu, Allah I akan memberimu pahala yang besar.? Syaikh Muhammad Syamsuddin meminta Sultan untuk memerintahkan Syaikh Muhammad Parsa k agar muncul. Syaikh ul-Islam di Bukhara, Husamuddin an-Nahawi, berada di sana, bersama dengan sejumlah ulama dan imam dari daerah itu.
Syah Naqsyband k datang bersama Muhammad Parsa k ke pertemuan itu. Lalu Syaikh Husamuddin menanyakan Muhammad Parsa k mengenai sebuah hadits. Muhammad Parsa k menarasikan hadits itu bersama dengan mata rantai transmisinya. Syaikh Muhammad al-Jazari berkata, ?Tidak ada yang salah dalam haditsnya, tetapi mata rantainya tidak benar.? Ketika mendengar ini para ulama yang iri merasa gembira. Mereka meminta Muhammad Parsa k memberi mata rantai yang lain untuk hadits tersebut. Beliau melakukannya, tetapi tetap saja dikatakan bahwa itu tidak benar. Mereka meminta mata rantai yang lain, beliau memberikannya dan tetap saja mereka menemukan kesalahan di dalamnya.
Syah Naqsyband k turun tangan, karena beliau tahu bahwa apa pun mata rantai yang diberikan, mereka akan mengatakan bahwa itu salah. Beliau memberi inspirasi kepada Muhammad Parsa k untuk bertanya langsung kepada Syaikh Husamuddin dan berkata kepadanya, ?Engkau adalah Syaikh ul-Islam dan seorang mufti. Dari apa yang telah engkau pelajari mengenai pengetahuan eksternal dan syari?ah serta pengetahuan mengenai hadits, apa yang engkau katakan mengenai narator-narator tersebut?? Syaikh Husamuddin berkata, ?Kami menerima orang itu dan kami mendasarkan banyak pengetahuan mengenai hadits pada narasi mereka, dan buku-buku mereka kami terima, dan silsilahnya diterima oleh semua ulama, dan tidak ada beda pendapat mengenai hal itu.? Muhammad Parsa k berkata, ?Buku orang itu, yang engkau terima ada di rumahmu di perpustakaanmu, di antara buku ini dan ini. Dia terdiri atas 500 halaman dan warnanya adalah ini dan ini, dan sampulnya terlihat seperti ini dan ini, dan hadits yang engkau tolak oleh orang tersebut ada di halaman ini dan ini.?
Syaikh Husamuddin merasa bingung dan keraguan mendatangi hatinya, karena dia tidak ingat pernah melihat buku seperti itu di perpustakaannya. Semua orang terkejut bahwa Syaikh mengetahui buku itu tetapi pemiliknya tidak mengetahuinya. Tidak ada alternatif lain kecuali untuk mengutus seseorang untuk mengecek. Hadits tersebut ditemukan sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Parsa k. Ketika raja mendengar kisah ini, para ulama yang membawa masalah ini dihinakan sementara Syah Naqsyband k dan Muhammad Parsa k mendapat kemuliaan.
Keadaannya ketika Meninggalkan Dunia ini
Syaikh Ali Damman, salah seorang pelayan dari Syaikh berkata, ?Syaikh menyuruhku untuk menggali makamnya. Ketika aku menyelesaikannya, aku bertanya dalam hati, ?Siapa yang akan menjadi penerusnya?? Beliau bangkit dari bantalnya dan berkata kepadaku, ?Oh anakku, jangan melupakan apa yang kukatakan kepadamu ketika kita dalam perjalanan ke Hijaz. Siapa pun yang ingin mengikutiku dia harus mengikuti Syaikh Muhammad Parsa k dan Syaikh Alauddin Attar k.?
Di hari-hari terakhirnya, beliau tinggal di kamarnya. Orang-orang berziarah mengunjunginya dan beliau memberi nasihat kepada mereka. Ketika beliau memasuki sakitnya yang terakhir beliau mengunci dirinya di dalam kamar. Bergelombang-gelombang pengikutnya mulai berdatangan mengunjunginya dan beliau masing-masing memberi nasihat yang mereka butuhkan. Pada suatu saat beliau memerintahkan mereka membaca surat Yaa Sin. Kemudian ketika mereka menyelesaikannya, beliau berdo?a kepada Allah I lalu mengangkat jari telunjuk kanannya untuk mengucapkan syahadat. Segera setelah beliau mengucapkannya, jiwanya kembali kepada Allah I.
Beliau meninggal pada hari Minggu malam, 3 Rabi’ul-Awwal, 791 H (1388 M). beliau dimakamkan di halaman rumahnya sebagaimana permintaan beliau. Penerus Raja Bukhara menjaga madrasah dan masjidnya, memperluas dan meningkatkan waqafnya.
Abdul Wahhab asy-Sya’arani k, seorang Kutub Spiritual di masanya mengatakan, ?Ketika Syaikh dikuburkan di makamnya, sebuah pintu surga terbuka baginya, menjadikan makamnya sebagai taman dari Surga. 2 makhluk spiritual yang indah mendatanginya dan memberinya salam dan berkata kepadanya, ?Sejak Allah I menciptakan kami sampai sekarang, kami telah menunggu saat ini untuk melayani engkau.? Beliau berkta kepada kedua makhluk spiritual ini, ?Aku tidak berpaling kepada yang lainnya kecuali kepada-Nya. Aku tidak membutuhkan kalian tetapi Aku membutuhkan Tuhanku.?
Syah Naqsyband k meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat di antara mereka adalah Syaikh Muhammad bin Muhammad Alauddin al-Khwarazmi al-Bukhari al-Attar k dan Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud al-Hafizi k, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa k, penulis Risala Qudsiyya. Kepada yang pertamalah Syah Naqsyband k meneruskan rahasia dari Mata Rantai Emas.
Komentar
Posting Komentar