Imam Bukhori
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail,
terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal
194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya,
Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya,
al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja’fi,
gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Karena
itulah ia dikatakan “al-Mughirah al-Jafi.”
Ayah
beliau, Ismail, seorang ulama besar ahli hadits. Ia belajar hadits dari
Hammad ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh
Ibn Hibban dalam kitab As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari,
membuat biografinya dalam at-Tarikh al-Kabir. Ayah Bukhari disamping
sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara’ (menghindari yang
subhat/meragukan dan haram) dan takwa. Diceritakan, bahwa ketika
menjelang wafatnya, ia berkata: “Dalam harta yang kumiliki tidak
terdapat sedikitpun uang yang haram maupun yang subhat.” Dengan
demikian, jelaslah bahwa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan
keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara’. Tidak heran jika ia
lahir dan mewrisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.
Ia
dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum’at. Tak lama setelah bayi yang
baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya
sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo’a ke
hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam
tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata:
“Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah
dapat melihat kembali, semua itu berkat do’amu yang tiada
henti-hentinya.” Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal.
Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta
yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang
baik. Dia dirawat dan dididikl oleh ibunya dengan tekun dan penuh
perhatian.
Keunggulan
dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah
menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya
hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Ketika
berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadits. Pada usia 16 tahun
ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci.
Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk
memperoleh dan belajar hadits, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan
mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan
Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra’yi (penganut faham
rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.
Rasyid
ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan
beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh.
Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan
kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma karena tidak mencatat.
Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, karena merasa kesal
terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya
membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua karena Bukhari
ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan
keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Tahun
210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji,
disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini
kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah
sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang
penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci
itulah ia menulis sebagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar
kitab Al-Jami’as-Sahih dan pendahuluannya.
Ia
menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis
pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga buku
tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya
yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya
memberikan kritik, sehingga ia pernah berkata bahwa sedikit sekali
nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.
Kemudian
ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam
perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia
kunjungi sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahwa ia pernah
berkata: “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing
dua kali, ke basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah)
selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya
mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang
ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal
dan tidak jarang ia mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan
mencelanya karena menetap di negeri Khurasan. Dalam
setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa
menghimpun hadits-hadits dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus.
Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu
dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu
di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap
malamnya. Ia merawi hadits dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya
yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadits sebanyak itu lengkap
dengan sumbernya.
Kemasyuran
Imam Bukhari segera mencapai bagian dunia Islam yang jauh, dan
kemanapun ia pergi selalu di elu-elukan. Masyarakat heran dan kagum akan
ingatanya yang luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi
Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh
gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya. Imam Muslim bin al-Hajjaj,
pengarang kitab as-Sahih Muslim menceritakan: “Ketika Muhammad bin
Ismail dating ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala
daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa
yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari
luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km), sampai-sampai
Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata: “Barang siapa hendak menyambut
kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, seebab aku
sendiri akan ikut menyambutnya. Esok paginya Muhammad bin Yahya
az-Zihli, sebagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan
Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah
perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia
mengajarkan hadits secara tetap. Sementara itu, az-zihli pun berpesan
kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang
diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh
itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.”
Tak
lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan
orang-orang yang iri dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam
Bukhari sebagai orang yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk.”
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, az-Zihli
kepadanya, sehingga ia berkata: “Barang siapa berpendapat lafadz-lafadz
Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh
diajak bicara dan majelisnya tidak boleh di datangi. Dan barang siapa
masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum
tersebut, orang-orang mulai menjauhinya. Pada hakikatnya, Imam Bukhari
terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seorang
berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda
tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari
berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu
diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang tersebut terus mendesaknya, maka
ia menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan
perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’a.” Yang
dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan mereka.
Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan
antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan
para ulama ahli tahqiq dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah
buta dan tuli.
Dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata: “Iman adalah
perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Qur’an
adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling
utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada
keyakinan dan keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di
akherat kelak, insya Allah.” Demikian juga ia pernah berkata: “Barang
siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah
makhluk, ia adalah pendusta.” Az-Zahli benar-benar telah murka
kepadanya, sehingga ia berkata: “Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh
tinggal bersamaku di negeri ini.” Oleh karena Imam Bukhari berpendapat
bahwa keluar dari negeri itu lebih baik, demi menjaga dirinya, dengan
hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka ia pun
memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut.
Setelah
keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke negerinya sendiri,
Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk
keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan
kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota dan
menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi kegembiraan
mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan
majelis pengajian dan pengajaran hadits.
Tetapi
kemudian badai fitnah dating lagi. Kali ini badai itu dating dari
penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya
timbul dari sikap Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang
dimlikinya. Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam
Bukhari, supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami’
al-Sahih dan Tarikh. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia
hanya berpesan kepada utusan itu agar disampaikan kepada Khalid, bahwa
“Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika hal
ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa, maka keluarkanlah
larangan supaya aku tidak mengadakan majelis pengajian. Dengan begitu,
aku mempunyai alas an di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahwa
sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu.” Mendapat jawaban seperti itu,
sang penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar
melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian
ia mempunyai alas an untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam
Bukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara. Imam Bukhari,
kemudian mendo’akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara
tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid
bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menungang
himar betina. Maka hidup sang penguasa yang dhalim kepada Imam Bukhari
itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjara.
Imam
Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya
yang luar biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Sahih Bukhari,
tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia
selalu mandi dan berdo’a sebelum menulis buku itu. Sebagian buku
tersebut ditulisnya di samping makan Nabi di Madinah. Imam Durami, guru
Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadits muridnya ini: “Di antara
ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling
bijaksana.”
Suatu
ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang
isinya meminta ia supaya menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia
pergi untuk memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di
Khartand, sebuah dsa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand,
dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu
untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit
hingga menemui ajalnya. Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31
Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal
dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani
tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu
dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya
dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati
perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia.
Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.
Pengembaraannya
ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru
yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak.
Diceritakan bahwa dia menyatakan: “Aku menulis hadits yang diterima dari
1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian
bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan.” Di antara guru-guru besar itu
adalah :
1. Ali ibn al-Madini, 2. Ahmad ibn Hanbal, 3. Yahya ibn Ma’in, 4. Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, 5. Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, 6. Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan 7. Ibn Rahawaih.
Guru-guru
yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab Sahih-nya sebanyak 289 orang
guru. Karena kemasyurannya sebagai seorang alim yang super jenius,
sangat banyak muridnya yang belajar dan mendengar langsung haditsnya
dari dia. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang
meriwayatkan hadits dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat
bahwa kitab Sahih Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh
sembilan puluh ribu (90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22,
hal. 204). Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah :
1. Muslim bin al-Hajjaj, 2. Tirmizi, 3. Nasa’i, 4. Ibn Khuzaimah, 5. Ibn Abu Dawud, 6. Muhammad bin Yusuf al-Firabri, 7. Ibrahim bin Ma’qil al-Nasafi, 8. Hammad bin Syakr al-Nasawi dan 9. Mansur bin Muhammad al-Bazdawi.
Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyur sebagai perawi kitab Sahih Bukhari.
Dalam
bidang kekuatan hafalan, ketajaman pikiran dan pengetahuan para perawi
hadits, juga dalam bidang ilat-ilat hadits, Imam Bukhari merupakan salah
satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah
telah mempercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun
hadits lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita
Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahwa Imam Bukhari berkata: “Saya hafal
hadits di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadits sahih, dan 200.000
hadits yang tidak sahih.”
Mengenai
kejeniusan Imam Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia
tiba di Baghdad, ahli-ahli hadits di sana berkumpul untuk menguji
kemampuan dan kepintarannya. Mereka mengambil 100 buah hadits, lalu
mereka tukar-tukarkan sanad dan matannya (diputar balikkan), matan
hadits ini diberi sanad hadits lain dan sanad hadits lain dinbuat untuk
matan hadits yang lain pula. 10 orang ulama tampil dan masing-masing
mengajukan pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan tentang hadits yang telah
diputarbalikkan tersebut. Orang pertama tampil dengan mengajukan sepuluh
buah hadits kepada Bukhari, dan setiap orang itu selesai menyebutkan
sebuah hadits, Imam Bukhari menjawab dengan tegas: “Saya tidak tahu
hadits yang Anda sebutkan ini.” Ia tetap memberikan jawaban serupa
sampai kepada penanya yang ke sepuluh, yang masing-masing mengajukan
sepuluh pertanyaan. Di antara hadirin yang tidak mengerti, memastikan
bahwa Imam Bukhari tidak akan mungkin mampu menjawab dengan benar
pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan para ulama berkata satu kepada yang
lainnya: “Orang ini mengetahui apa yang sebenarnya.” Setelah 10 orang
semuanya selesai mengajukan semua pertanyaannya yang jumlahnya 100
pertanyaan tadi, kemudian Imam Bukhari melihat kepada penanya yang
pertama dan berkata: “Hadits pertama yang anda kemukakan isnadnya yang
benar adalah begini; hadits kedua isnadnya yang benar adalah beginii”
Begitulah
Imam Bukhari menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai
menyebutkan sepuluh hadits. Kemudian ia menoleh kepada penanya yang
kedua, sampai menjawab dengan selesai kemudian menoleh kepada penanya
yang ketiga sampai menjawab semua pertanyaan dengan selesai sampai pada
penanya yang ke sepuluh sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu
persatu hadits-hadits yang sebenarnya dengan cermat dan tidak ada
satupun dan sedikitpun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan
sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama
Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada
Imam Bukhari akan kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya,
serta mengakuinya sebagai “Imam” dalam bidang hadits.
Sebagian
hadirin memberikan komentar terhadap “uji coba kemampuan” yang
menegangkan ini, ia berkata: “Yang mengagumkan, bukanlah karena Bukhari
mampu memberikan jawaban secara benar, tetapi yang benar-benar sangat
mengagumkan ialah kemampuannya dalam menyebutkan semua hadits yang sudah
diputarbalikkan itu secara berurutan persis seperti urutan yang
dikemukakan oleh 10 orang penguji, padahal ia hanya mendengar
pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya satu kali.”Jadi banyak
pemirsa yang heran dengan kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah
hadits secara berurutan seperti urutannya si penanya mengeluarkan
pertanyaannya padahal beliau hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi
beliau membetulkan rawi-rawi yang telah diputarbalikkan, ini sungguh
luar biasa.
Imam
Bukhari pernah berkata: “Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadits
pun juga yang diterima dari para sahabat dan tabi’in, melainkan saya
mengetahui tarikh kelahiran sebagian besar mereka, hari wafat dan tempat
tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan hadits sahabat dan
tabi’in, yakni hadits-hadits mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui
dari Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW.”
Dengan
kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan hafalannya Imam Bukhari
sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika semua guru, kawan dan
generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada
Qutaibah bin Sa’id tentang Imam Bukhari, ketika menyatakan : “Wahai
para penenya, saya sudah banyak mempelajari hadits dan pendapat, juga
sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para
ahli zuhud; namun saya belum pernah menjumpai orang begitu cerdas dan
pandai seperti Muhammad bin Isma’il al-Bukhari.”
Imam
al-A’immah (pemimpin para imam) Abu Bakar ibn Khuzaimah telah
memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: “Di kolong
langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadits, yang melebihi
Muhammad bin Isma’il.” Demikian pula semua temannya memberikan pujian.
Abu Hatim ar-Razi berkata: “Khurasan belum pernah melahirkan seorang
putra yang hafal hadits melebihi Muhammad bin Isma’il; juga belum pernah
ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Irak yang melebihi
kealimannya.” Al-Hakim
menceriakan, dengan sanad lengkap. Bahwa Muslim (pengarang kitab
Sahih), dating kepada Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya
dan berkata: “Biarkan saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin
para ahli hadits dan dokter ahli penyakit (ilat) hadits.” Mengenai
sanjungan diberikan ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh
perkataan al-Hafiz Ibn Hajar yang menyatakan: “Andaikan pintu pujian dan
sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu
habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi.”
Imam
Bukhari adalah seorang yang berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak
terlalu tinggi juga tidak pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit
sekali makan. Ia sangat pemalu namun ramah, dermawan, menjauhi
kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan
baik secara sembunyi maupun terang-terangan, lebih-lebih untuk
kepentingan pendidikan dan para pelajar. Kepada para pelajar ia
memberikan bantuan dana yang cukup besar. Diceritakan ia pernah berkata:
“Setiap bulan, saya berpenghasilan 500 dirham,semuanya dibelanjakan
untuk kepentingan pendidikan. Sebab, apa yang ada di sisi Allah adalah
lebih baik dan lebih kekal.”
Imam
Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam berbicara dan dalam mencari
kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi. Terhadap perawi
yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: “Perlu
dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam
diri tentangnya.” Perkataan yang tegas tentang para perawi yang tercela
ialah: “Haditsnya diingkari.”
Meskipun
ia sangat sopan dalam mengkritik para perawi, namun ia banyak
meninggalkan hadits yang diriwayatkan seseorang hanya karena orang itu
diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ia berkata: “Saya
meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu
dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang sama atau lebih, yang
diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan.”
Selain
dikenal sebagai ahli hadits, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli
dalam fiqh. Beberapa referensi menyebutkan bahwa beliau mengikut madzhab
Syafi’i. Diantara guru beliau dalam fiqih Syafi’i adalah Iman al
Humaidi, sahabat Imam Syafi’i. Juga beliau belajar fiqih dan Hadits
kepada Za’farani dan Abu Tsur dan Al Karabisi, ketiganya adalah murid
Imam Syafi’i Rhl. Demikian diterangkan oleh Imam Abu ‘Ashim al Abbadi
dalam kitab “Thabaqat”-nya.
Beliau
tidak banyak membicarakan soal fiqih, tetapi hampir semua pekerjaan
beliau berkisar kepada hadits-hadits dan tidak mengambil hukum dari
hadits-hadits itu. Di dalam kitab “Faidhul Qadir” syarah Jamius Shagir
pada juz I halaman 24 diterangkan bahwa Imam Bukhari mengambil fiqih
dari al Humaidi dan sahabat Imam Syafi’i yang lain. Imam Bukha’ri tidak
mengambil hadits dari Iman Syafi’i Rhl., karena beliau meninggal dalam
usia muda tapi Imam Bukhari belajar dan mengambil hadits dari
murid-murid Imam Syafi’i Rhl.
Di
sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan
kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Diunul Islam. Imam
Bukhari sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahwa
sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya
dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang
mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah
dan alat-alat perang lainnya. Tujuannya adalah untuk memerangi
musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan mereka.
Diantara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :
- Al-Jami’ as-Sahih (Sahih Bukhari).
- Al-Adab al-Mufrad.
- At-Tarikh as-Sagir.
- At-Tarikh al-Awsat.
- At-Tarikh al-Kabir.
- At-Tafsir al-Kabir.
- Al-Musnad al-Kabir.
- Kitab al-’Ilal.
- Raf’ul-Yadain fis-Salah.
- Birril-Walidain.
- Kitab al-Asyribah.
- Al-Qira’ah Khalf al-Imam.
- Kitab ad-Du’afa.
- Asami as-Sahabah.
- Kitab al-Kuna.
Sekilas Tentang Kitab AL-JAMI’ AS-SAHIH (Sahih Bukhari)
Diceritakan,
Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.;
seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang
kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada
sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan
mengikis habis kebohongan dari hadits Rasulullah SAW. Mimpi inilah,
antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ as-Sahih.”
Dalam
menghimpun hadits-hadits sahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan
kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan
kesahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan
para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang
diriwayatkannya. Beliau senantiasa membanding-bandingkan hadits-hadits
yang diriwayatkan, satu dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has
mana yang menurutnya paling sahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji
dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari
perkataannya: “Aku susun kitab Al-Jami’ ini yang dipilih dari 600.000
hadits selama 16 tahun.” Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat
dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama al-Firbari
menjelaskan bahwa ia mendengar Muhammad bin Isma’il al-Bukhari berkata:
“Aku susun kitab Al-Jami’ as-Sahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah
aku memasukkan ke dalamnya sebuah hadits pun, kecuali sesudah aku
memohonkan istikharoh kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan
sesudah aku meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar sahih.”
Maksud
pernyataan itu ialah bahwa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan
dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara sistematis, kemudian menulis
pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara makan
Nabi SAW. dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadits-hadits dan
menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di
Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat, menyusunnya selama 16 tahun.
Dengan
usaha seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala faktor
yang menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat
pada kitab lain. Karenanya tidak mengherankan bila kitab itu mempunyai
kedudukan tinggi dalam hati para ulama. Maka sungguh tepatlah ia
mendapat predikat sebagai “Buku Hadits Nabi yang Paling Sahih.”
Diriwayatkan
bahwa Imam Bukhari berkata: “Tidaklah kumasukkan ke dalam kitab
Al-Jami’as-Sahih ini kecuali hadits-hadits yang sahih; dan kutinggalkan
banyak hadits sahih karena khawatir membosankan.”
Kesimpulan
yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat
terhadap kitabnya, menyatakan bahwa Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya
selalu berpegang teguh pada tingkat kesahihan yang paling tinggi, dan
tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadits yang
bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadits mutabi dan
hadits syahid, dan hadits-hadits yang diriwayatkan dari sahabat dan
tabi’in.
Jumlah Hadits Kitab Al-Jami’as-Sahih (Sahih Bukhari)
Al-’Allamah
Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahwa jumlah hadits Sahih
Bukhari sebanyak 7.275 buah hadits, termasuk hadits-hadits yang
disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadits tanpa pengulangan.
Perhitungan ini diikuti oleh Al-”Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi
dalam kitabnya, At-Taqrib.
Selain
pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari,
kitab syarah Sahih Bukhari, menyebutkan, bahwa semua hadits sahih mawsil
yang termuat dalam Sahih Bukhari tanpa hadits yang disebutnya berulang
sebanyak 2.602 buah hadits. Sedangkan matan hadits yang mu’alaq namun
marfu’, yakni hadits sahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan
sanadnya secara sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159
hadits. Semua hadits Sahih Bukhari termasuk hadits yang disebutkan
berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu’alaq sejumlah 1.341 buah,
dan yang mutabi’ sebanyak 344 buah hadits. Jadi, berdasarkan perhitungan
ini dan termasuk yang berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082
buah hadits. Jumlah ini diluar haits yang mauquf kepada sahabat dan
(perkataan) yang diriwayatkan dari tabi’in dan ulama-ulama sesudahnya.
|
Komentar
Posting Komentar